• Ust. Faishal Haq memberikan pembukaan pada Musyawarah Akbar LDK....
  • Lembaga Dakwah Kampus LDK STAIL Surabaya menyelengarakan musyawarah....
  • Penyampaian materi oleh Ust. Alwi di Aula Rahman Rahmat Pesantren Hidayatullah Surabaya
  • Mahasiswa STAIL Hidayatullah Surabaya hadir dalam....
  • Pada hari Rabu 12/12/12, LDK STAIL mengadakan orientasi ke-LDK-an yang bertempat di kantor Pusat Dakwah.
  • Dalam rangka membangun kembali semangat kepemudaaan Hidayatullah...
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL

Senin, Desember 20, 2010

Mengenal dan Membuat Strategi Dakwah di Perguruan Tinggi Khusus

Saya berasal dari kampus kedinasan, dimana banyak peraturan yang diperlakukan secara khusus untuk di kampus ini saja, sehingga banyak kesulitan bagi kami dalam melaksanakan agenda dakwah.

Maksud khusus disini adalah kampus yang bisa dikatakan bukan perguruan tinggi seperti pada umumnya, akan tetapi perguruan tinggi yang mempunyai kekhasan tersendiri. Seperti perguruan tinggi kedinasan, perguruan tinggi intelejen, perguruan tinggi militer, perguruan tinggi keperawatan,ekstensi, Diploma, perguruan tinggi agama Islam, perguruan tinggi agama non-Islam. atau perguruan tinggi yang mempunyai kekhasan lain. Bentuk kekhasan yang pernah saya jumpai seperti ;

(1) Perguruan tinggi kedinasan yang menuntut mahasiswa tinggal di asrama selama masa perkuliahan

(2) Perguruan tinggi yang memiliki lama kuliah 3 tahun ( D-3 ) atau kuliah malam ( ekstensi )

(3) Perguruan tinggi yang menerapkan sistem militer dalam sistem pendidikannya

(4) Perguruan tinggi yang pada tahun kuliah tertentu mewajibkan mahasiswa Kuliah Praktek selama 1 tahun

(5) Perguruan tinggi yang berbasiskan Islam

(6) Perguruan tinggi yang memiliki peraturan yang melanggar syariah Islam, seperti perempuan yang tidak diperbolehkan memakai jilbab atau tidak diperbolehkan mengenakan bawahan rok

(7) Perguruan tinggi yang non-Islam, sehingga ada mata pelajaran agama lain masuk dalam kurikulum wajib kita ambil

(8) Perguruan tinggi dengan karakter mahasiswa homogen, seperti akademi keperawatan yang di dominasi oleh mahasiswi

Dan mungkin lebih banyak lagi contoh yang bisa Anda sebutkan. Saya seringkali mendapat pertanyaan terkait kampus dengan ke-khasan ini. Kebanyakan memang saya tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, karena bagaimanapun kondisi khas ini tidak saya pahami dengan baik atau saya tidak mengetahui medan dakwah disana dengan baik. Sehingga seperti yang sering saya utarakan, metode atau strategi dakwah yang terbaik sejatinya hanya bisa dibuat oleh Anda pelaku dakwah di sebuah kampus.

Pada tulisan ini saya mencoba memaparkan cara pandang yang diperlukan dalam menyusun pola dakwah di kampus-kampus yang mempunyai ke-khasan tersendiri. Alangkah baiknya jika Anda pelaku dakwah di kampus-kampus tersebut bisa mengformulasikan dakwah yang paling tepat dan dibukukan lalu dapat diadaptasi dengan kampus sejenis lainnya. Saat, FSNAS di Lampung satu tahun silam, sempat di inisiasi forum dakwah kampus kedinasan dan perguruan tinggi Islam. Aliansi atau forum ini bertujuan agar ada tempat berbagi dan berdiskusi serta mengembangkan pola dakwah yang terbaik untuk kampus yang sejenis ini.

Tak bisa kita elakkan pula dalam penyusunan strategi ini, kondisi mahasiswa dan lingkungannya sangat unik. Sebutlah di perguruan tinggi agama Islam ( PTAI ), dimana sebagian mahasiswanya mungkin sudah paham Islam, sehingga mereka menilai mengikuti LDK menjadi tidak ada manfaatnya. Akhirnya dibutuhkan pola dakwah khusus dimana LDK menjadi seperti pusat Inkubasi Pemikiran Islam, barulah banyak yang mengikuti. Karena, para mahasiswa disana justru melihat LDK sebagai tempat belajar Islam yang lebih advance. Contoh kedua di sekolah kedinasan pemerintahan ( IPDN ) yang dimana mahasiswa disana tidak diizinkan untuk keluar kampus tanpa izin yang jelas, serta ada kewajiban untuk menginap disana. Sehingga pola dakwah disana menyesuaikan dengan pola hidup yang ada, dengan membuat sebuah trendset tersendiri bagi seorang muslim, seperti budaya membangunkan sholat subuh berjamaah, kajian setelah magrib, sahur dan buka bareng puasa sunnah, dan membuat kebiasan lain yang sangat efektif dalam membangun budaya dan lifestyle muslim pada mahasiswa disana.

Untuk sampai pada tahapan mampu untuk membuat sebuah sistem sendiri dibutuhkan waktu yang cukup lama tentunya. Pada bagian selanjutnya saya akan memaparkan poin of view apa saja yang perlu diperhatikan dalam membuat strategi dakwah ini

(1) Mengenal medan kampus. yakni mengenal bagaimana kekhasan kampus Anda dibandingkan dengan kampus umum lainnya. Cari perbedaan yang mendasari mengapa perlu ada perlakuan khusus terhadap kampus Anda. Mengenal disini termasuk kepada semua civitas akademika dan lingkungan sekitar kampus.

(2) Pola Regenerasi. Dalam beberapa kampus perlu juga di sesuaikan pola regenerasinya . Seperti untuk kampus yang masa perkuliahan 3 tahun, maka pada tingkat dua seorang kader sudah harus memegang tanggung jawab sebagai pemimpim utama.

(3) Karakter mahasiswa. Karakter mahasiswa yang ada, biasanya untuk kampus yang mempunyai kekhasan ini, karakter mahasiswanya lebih homogeny, cari tahu dimana letak kesamaan mahasiswa di kampus Anda, dan jadikan itu sebagai landaan dalam menentukan pola pendekatan dakwah.

(4) Tata Aturan yang berlaku, yakni aturan kampus yang bisa mendukung atau menghambat gerak dakwah Anda di kampus. seperti larangan berjilbab atau sebaliknya kewajiban berjilba bagi para mahasiswi.

(5) Menemukan Potensi pendekatan Dakwah, setelah mengetahui kondisi ( analisa SWOT ) terhadap kampus Anda, maka perlu kiranya kita mencari potensi dakwah yang dimiliki dan bisa menjadi senjata ampuh dalam berdakwah. Sebutlah, potensi kedekatan emosional antar mahasiswa memudahkan kita untuk mengajak mahasiswa Sholat, atau potensi pemahaman agama para kader yang memungkinkan membuka kesempatan mahasiswa yang ingin belajar agama lebih intens.

(6) Menentukan profil kader yang dibutuhkan. Profil ini untuk membantu LDK membentuk criteria kader yang dibutuhkan agar dakwah di kampus Anda menjadi lebh mudah. Sebutlah untuk di PTAI maka kader minimal memahami kitab-kitab Islam, atau memiliki hafalan QUr’an beberapa juz. Atau untuk di sekolah olahraga, maka kader harus memiliki kekuatan fisik yang baik, sehingga bisa menjadi teladan untuk sekitar.

(7) Tidak mengikuti pola dakwah pada umumnya. Terkadang pada kampus khusus ini, pola dakwah di kampus umum seringkali tidak bisa digunakan. Sehingga Anda perlu berpikir keras terkait metode dakwah yang ideal dan tepat. Bahkan bisa jadi pola dakwah yang dilakukan di kampus Anda adalah pola dakwah yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

(8) Trial and error. LDK harus berani uji coba dan siap gagal atas rekayasa dakwah yang dilakukan. Dengan terus uji sistem dan kader, biasanya pola dakwah yang tepat akan terbentuk. Perbanyak diskusi pula dengan kampus sejenis.. Membangun forum kampus yang memiliki kekhasan ini juga bisa menjadi solusi tambahan. 



*Ditulis oleh akhi  Ridwansyah Yusuf Achmad (ketua LDK GAMAIS ITB 07-08)
Sumber: http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com/2008/10/08/mengenal-dan-membuat-strategi-dakwah-di-perguruan-tinggi-khusus/

Mengembangkan Potensi Akademik Kader Dakwah

Bagaimana caranya agar kader dakwah dapat memiliki prestasi akademik yang luar biasa, karena kami seringkali sulit mendorong kader dakwah untuk berprestasi ?

Kadang saya berpikir tentang ADK yang prestatif, sangat mudah untuk mengatakan IPK diatas 3.5 atau menulis sebuah paper untuk konferensi internasional. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa untuk melaksanakannya sangat sulit sekali. Tentu, bukan berarti tidak mungkin bagi seorang ADK untuk dapat terus berdakwah dan memiliki prestasi akademik yang juga memuaskan. Ada sebuah pertanyaan menarik bagi ADK. Apakah seorang ADK lebih banyak membaca buku kuliah atau buku ke-Islam-an ? memang tidak ada yang salah bila seorang ADK lebih banyak membaca buku Islam ketimbang buku kuliah. Akan tetapi, sangat disayangkan bila perbandingan diantara keduanya tidak seimbang. ADK perlu juga untuk dapat mempriositaskan membaca buku kuliah sebagai penguat basis akademik yang mereka miliki.

Referensi akademik, baik itu yang berupa artikel, jurnal, atau buku ilmiah tampaknya perlu menjadi “santapan wajib” bagi ADK. Dengan tidak mengurangi alokasi waktu untuk menambah pemanahan Islam dan gerakan dakwah, memahami buku perkuliahan adalah konsekuensi logis bagi seorang mahasiswa. Ini bukan tentang sekedar bisa mengerjakan soal ujian, namun ini tentang bagaimana ADK mampu menguasai bidang ilmu yang ia tekuni di bangku kuliah. Saya pernah mendengar sebuah anekdot “seorang ADK sangat ahli dalam softskill, organisasi, dan Ilmu Islam, namun ilmu yang paling tidak ia kuasai adalah ilmu yang terkait dengan bidangnya jurusan yang diambil di kelas”.

Kadang saya tergelitik sendiri dengan anekdot tersebut, bukan sesuatu yang perlu dibanggakan. Justru perlu menjadi sebuah evaluasi bagi dakwah kampus. Kita sebagai ADK tidak bisa melupakan hakekat kita berkuliah, yakni menunut ilmu. Ingat sahabat, bahwa dakwah kampus tidak sekedar mencetak manusia sholeh. Dakwah kampus dengan segala ke-khasannya di-desain untuk menjadi pencetak intelektual muslim di masa yang akan datang.

Mendorong potensi kader agar mereka mampu menunjukkan prestasi yang baik di kelas, maupun di laboratorium adalah bagian dari agenda pengembangan dakwah kampus ilmiy. Langkah awal yang perlu di bangun adalah memberikan penanaman dasar tentang pentingnya akademik di dalam dunia dakwah kampus. Pemahaman ini perlu ditanamkan dengan baik agar ADK tidak disorientasi dalam menyeimbangkan antara dakwah dan akademik. Sejatinya kedua hal ini dapat berjalan sinergis-saling mendukung.

Langkah pertama, seorang kader disiapkan untuk dapat memiliki keseimbangan tanggung jawab dakwah. Ia perlu proposional antara aktivitasnya dengan beban akademik. Ingat sahabat, bahwa setiap jurusan memiliki beban tugas dan pelajaran yang berbeda, sehingga ADK tidak bisa di generalisir kesibukan dan aktifitasnya. Perlu adanya komitmen dari pengurus dakwah kampus dalam mendukung potensi akademik ADK dengan keberadaan sistem database kader yang terintegrasi antara akademik dengan aktivitas organisasi dakwah.

Database ini akan menunjang bagi pelaku dakwah kampus untuk memantau perkembangan indeks prestasi seorang kader. Dengan dukungan data yang kuat, maka kita akan dapat mengetahui mana kader yang kekurangan tanggung jawab atau kelebihan tanggung jawab. Dengan itu kita bisa mendistribusikan tanggung jawab dakwah dengan bijak kepada seluruh kader yang ada.

Seringkali saya menemui seorang kader dakwah enggan menyampaikan keluhan akademiknya, bisa jadi karena nuansa lingkungan dakwah kampus yang “serius”, sehingga membuat mereka tidak mengungkapkan kegelisahan akademik mereka kepada ADK yang lain. Sebagai bentuk mitigasi dari hal ini, sangat penting bagi dakwah kampus untuk mampu memahami potensi serta kapasitas yang dimiliki oleh setiap ADK.

Langkah kedua, adanya sistem peringatan dini IPK kader dakwah. Sistem peringatan dini ini bertujuan untuk mencegah turunnya indeks prestasi kader secara berkelanjutan. Bila indikasi ketidakoptimalan sudah ada pada semester tertentu, akan lebih bijak bila ADK tersebut di dampingi agar ia lebih mampu meningkatkan indeks prestasinya.

Langkah ketiga, adanya sistem belajar kelompok diantara ADK sejurusan. Alangkah baiknya bila pertemuan ADK di jurusan tidak hanya untuk membahas agenda dakwah, melainkan juga untuk saling berbagi ilmu mengenai pelajaran di kelas. Selain itu sistem belajar kelompok ini bisa digunakan untuk berbagi catatan kuliah serta saling memotivasi untuk lebih giat menuntut ilmu.

Langkah keempat, adanya mekanisme informasi akademik untuk kader. Informasi ini dapat berupa informasi pendaftaran akademik, beasiswa dalam dan luar negeri, lomba dan kompetisi akademik. Dengan adanya sistem informasi ini diharapkan ADK dapat lebih sigap dan dapat menyiapkan segala persiapan yang dibutuhkan.

Langkah kelima, adanya pernghargaan bagi ADK yang berprestasi. Penghargaan ini dapat berupa beasiswa atau uang untuk mendukung perkuliahan ADK. Dengan adanya penghargaan ini, ADK akan lebih terpacu untuk meningkatkan indeks prestasi serta prestasi non-IPK lain yang terkait dengan akademik.

Langkah keenam, adanya kelompok khusus bagi ADK yang memang menyiapkan diri untuk menjadi akademisi/dosen. Dengan adanya kelompok ini, mereka yang tergabung di dalamnya dapat menyiapkan pasca-sarjana bersama,seperti kursus bahasa inggris bersama hingga mengirimkan aplikasi beasiswa bersama.

Langkah ketujuh, pembinaan berbasis akademik. Artinya di setiap kesempatan pembinaan seperti mentoring, ta’lim dan lainnya. Adanya materi mengenai akademik, dan dakwah ilmiy akan memberikan dorongan tersendiri agar ADK mau untuk lebih mampu berprestasi. 




*Ditulis oleh akhi  Ridwansyah Yusuf Achmad (ketua LDK GAMAIS ITB 07-08)
Sumber: http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com/2011/06/21/mengembangkan-potensi-akademik-kader-dakwah/

Mengasah Kebiasaan Menulis ADK

Bagaimana meningkatkan kemampuan menulis bagi ADK ? adakah tips-tips sederhana yang bisa diterapkan ?

Membaca dan Menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam Dakwah kita, dua kemampuan inilah yang membuat kita bisa menikmati Al Quran (dalam bentuk tulisan buku), memahami dengan seksama Hadits Shohih dari para Imam Besar dan Kitab-kitab Islam dari para pemikir Islam di masa lalu. Karena kemampuan mereka dalam menulislah, sejarah Islam terus berkembang dan tak surut di telan waktu. Dari tulisan lah kita pula dapat memahami bagaimana sejarah Islam dan Dunia, dan dari tulisanlah kita akan merekayasa sejarah di masa depan. Bagi seorang ADK, menulis adalah sebuah tuntutan. Seringkali sejarah dakwah kampus kita terputus atau hilang jejak karena dokumentasi dalam bentuk tulisan yang tidak ter-kumpul dengan baik. Atau, karena tulisan yang dilahirkan oleh ADK yang masih terbatas membuat banyak sekali pemikiran tentang Islam, Peradaban, atau Dakwah Kampus yang tidak diketahui oleh masyarakat luas. Dan pemikiran-pememikiran yang lalu lalang di dunia maya justru di dominasi oleh hal-hal yang kontraproduktif dengan Islam itu sendiri.

Padabagian ini saya mencoba memberikan bagaimana agar para ADK mampu mengasah kemampuan menulis mereka yang harapan kedepannya mampu bermanfaat untuk perkembangan dakwah kita di Indonesia dan Dunia.

Langkah pertama yang perlu disiapkan sebelum seseorang menulis tentu adalah Membaca. Semakin banyak bacaan yang kita serap, berdampak terhadap seberapa banyak kosakata yang dapat kita tuliskan nantinya. Membaca buku tentu perlu di jadwalkan secara khusus, dan alangkah baiknya bila ADK menjadi buku sebagai sahabat yang selalu menemani kemanapun. ADK dapat memulai dengan membiasakan diri untuk mengalokasikan sebagian uangnya dan membeli buku serta menyediakan tempat di tas/ransel untuk menaruh sebuah buku. Sehingga buku dapat di baca saat dalam perjalanan atau menunggu.

Baiknya memang setiap ADK memiliki target bacaan setiap bulannya. Apakah 2-3 buku perbulan dengan variasi tentunya. Jangan hanya terpaku pada satu jenis buku saja, buat variasi tema, genre hingga ketebalan buku. Agar pikiran kita terbiasa untuk mengkonsumsi berbagai pemikiran dan nantinya dapat bermanfaat untuk mengembangkan sintesa pemikiran baru yang nantinya akan dituliskan.

Langkah kedua adalah memilih tema tulisan yang akan ditekuni. Percayalah bahwa setiap orang bisa dan mampu untuk menulis. Hanya saja kadang mereka tidak cukup percaya diri bahwa tulisan mereka sangat layak. Dan percayalah, bahwa setiap orang memiliki kekhasan masing-masing dalam mengekspresikan pikirannya dalam kata-kata, sehingga saya berani berpendapat bahwa semua tulisan itu bagus dan bermakna. Memilih tema tulisan sangat penting untuk memulai sebuah tulisan, apakah anda akan membuat novel, artikel bebas, opini media, buku pemikiran atau buku dengan jenis lainnya. Tema ini akan berpengaruh kepada gaya penulisan, objek yang akan membaca hingga apa yang dituliskan itu sendiri.

Langkah ketiga, membandingkan gaya penulisan orang lain dengan tema yang akan anda tuliskan. Tujuannya adalah agar memperkaya cara penulisan serta padanan diksi yang akan digunakan. Sangat penting bagi kita untuk belajar dari para penulis yang sudah terbukti kapasitasnya. Walau memang banyak yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki ke-khasan masing-masing. Tetapi dengan melihat referensi dari penulis lain, kita akan lebih mengetahui apa potensi penulisan kita yang bisa dikembangkan. Untuk nantinya kita bisa mengembangkan cara penulisan yang sesuai dengan gaya kita masing-masing.

Langkah keempat adalah menulis itu sendiri. Memulai tulisan tidak butuh harus “sekali jadi”, bisa juga bertahap. Artinya tulisan itu bisa dicicil, saat “mood” kita mulai menulis, dan saat inspirasi datang kita menulis. Walau memang perlu juga kita “memaksakan” diri untuk menulis itu. Jika Anda memiliki akses ke komputer atau laptop tentu akan sangat memudahkan dalam menulis. Pastikan potensi akses tersebut dimanfaatkan untuk membuahkan beberapa inspirasi tulisan.

Langkah kelima dan yang terakhir adalah mempublikasikan tulisan tersebut. Baik itu melalui blog pribadi, atau media online, jejaring sosial atau apapun yang dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk memberikan masukan atau tanggapan bagi tulisan anda. Jangan khawatir, bila ada pandangan negatif tentang tulisan anda. Anggap saja itu sebagai kontribusi orang lain agar anda lebih giat dalam belajar menulis.


*Oleh  : akhi  Ridwansyah Yusuf Achmad (ketua LDK GAMAIS ITB 07-08)
Sumber: http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com/2011/06/26/mengasah-kebiasaan-menulis-adk/

Jumat, November 19, 2010

Kamis, September 02, 2010

Memburu Untung, Menghindari Buntung

Oleh Robinsyah*

“Man jadda wa jada” (barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya

MENJADI orang yang beruntung adalah cita-cita semua orang. Sebab tak satupun manusia, memimpikan diri menjadi orang yang merugi. Dalam berniaga, misalnya, sudah pasti si penjual mengharapkan keuntungan dari peniagaannya. Seorang pengusaha, dengan sekuat tenaga mengerahkan kemampuan, supaya usahanya senantiasa memiliki omzet yang setiap bulan atau tahun selalu mengalami peningkatan.
Seorang politikus yang mengikuti ‘kontes’ pemilihan wakil rakyat, akan berjuang mati-matian untuk menggapai kursi DPR RI/DPRD, sekalipun harus mengeluarkan kocek pribadi yang tidak sedikit. Pada intinya, dalam segala aspek kehidupan, manusia menginginkan keberuntungan.

Memiliki ambisi untuk selalu meraih keuntungan adalah suatu yang lumrah, bahkan, Allah dan Rosul-Nya senantiasa memacu manusia (mukmin) untuk senantiasa berusaha, tidak putus asa dari rahmat-Nya, tidak lain, agar mereka survive dalam kehidupan, terutama kehidupan akhirat.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS: 94: 7).

Dalam ayat ini, tersirat perintah Allah supaya kita senantiasa berusaha untuk menggapai keuntungan/kesuksesan. Jangan pernah merasa puas dengan satu prestasi yang telah kita raih. Tapi, burulah prestasi-prestasi yang lain, rengguh sebanyak-banyaknya.

Al-Imam Abdurrahman bin Nashir Assyaa’di, dalam tafsirnya,”Taisiiru Al-Karim Al-Rahman Fii Tafsiiri Kalaami Al-Manaan”, menjelaskan kandungan dari surat ini, bahwa termasuk mereka yang merugilah orang-orang yang menggunakan waktu luangnya untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, bukan untuk berdzikir, beribadah, ataupun bekerja.

Dan yang perlu dijadikan titik tekan dalam hal ini, bahwa dalam meraih keuntungan, itu dibutuhkan kesabaran, karena dalam menggapainya, harus melalui proses yang panjang dan –terkadang-- penuh ujian.

Sama halnya, ketika kita hendak mengambil manfaat dari hasil cocok tanam yang kita lakukan. Butuh proses. Dimulai dari penyemaiannya, penanaman, perawatan, hingga akhirnya menghasilkan buah. Itupun tidak langsung bisa kita nikmati. Kalau kita pingin menikmatinya, maka terlebih dahulu kita harus memetiknya. Ketika kita hendak menjadikannya pemasukkan (uang) kitapun kudu memasarkannya, menjajakannya kepada pembeli.

Sayangnya, dalam realitas di lapangan, tidak sedikit orang, justru gagal pada tahap ini. Mereka tidak tahan melewati ‘duri-duri ’ kecil yang ‘menggoda’ ketangguhan mereka. Padahal, sudah jelas bahwa “Sesungguhnya setelah kesusahan itu ada kemudahan” demikianlah penegasan Allah dalam salah satu firman-Nya.

Namun, karena sebagian mereka hanya menghendaki kemudahan, banyak dari mereka yang melakukan keculasan, dengan menempuh cara-cara yang sangat tidak profesional, bahkan, irasional. Mereka menipu, mendatangi dukun-dukun, tempat-tempat keramat, memasang jimat-jimat, dan lain sebagainya, dengan harapan, agar semua usaha, profesi, jabatan yang dia kejar/pegang, berjalan dengan normal, dan menghasilkan keuntungan yang melimpah.

Trik macam ini tentu saja tidak dibenarkan, dan yang pastinya telah menyalahi sunnatullah, terkait dengan terjadinya segala sesuatu. Bukankah penciptaan langit dan manusia, itu melalui proses dan tahapan-tahapan? Ini membuktikan bahwa dalam menggapai segala hal yang kita kejar, semua membutuhkan proses.

Keuntungan Semu

Hakekat dari meraih keuntungan adalah agar tercapainya kebahagiaan hidup. Sedangkan kebahagiaan hidup, itu bersumber dari kebahagiaan hati. adapun hati, akan mengecap kebahagian manakala ia berjalan di atas rel-rel ketetapan Allah. Harta yang melimpah, tidak menjamin mendatangkan kebahagiaan. Betapa banyak bukti nyata yang menunjukkan kebenaran hal tersebut. Banyak orang kaya yang meninggal dengan cara bunuh diri, lantaran hatinya kering, tidak pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya.

Tidak sedikit orang kaya lari ke narkoba, diskotik, wanita-wanita penghibur, hanya untuk menghilangkan kegundahan hatinya, barang sekejap, setelah itu, kembali dia merana.

Tentu saja, kita, sebagai muslim berlindung kepada Allah dari hal ini. Kita tidak ingin menukar kebahagiaan akhirat yang abadi, dengan kebahagian di dunia yang sementara. Yang menjadi incaran kita (dan ini memang diperintahkan) ialah meraih kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Bermuamalah dengan curang, meminta bantuan jin, dukun, sejatinya hanyalah menghantarkan kita kepada kebahagiaan semu, yang hanya bersandarkan hawa nafsu. Bukalah kembali sejarah nenek moyang kita, Adam. Beliau dan istrinya, Hawa, termakan oleh bujuk rayu syetan yang menjanjikan keuntungan, kehidupan abadi. Namun yang terjadi, justru kesengsaraan huduplah yang mereka terima.

Kisah ini merupakan warning bagi kita, bahwa janji-janji syetan dan sekutu-sekutunya (para dukun dll) yang –mungkin- sangat menggiurkan itu, hanyalah tipu daya belaka. Sebab itu, jangan terkecoh. Jalanilah garis yang telah ditetapkan untuk meraih keuntungan.

Allah berfirman, “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)

Kiat –Kiat Al-Quran

Al-Quran adalah dustur kaum muslimin, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk tentang tuntunan bermuamalah agar memperoleh keuntungan, yang tidak membuahkan ‘kebuntungan’ di dunia, lebih-lebih di akhirat. Berikut adalah diantara kiat-kiat tersebut, yang telah terjamin akan kebenarannya:

1. Fokus

Dalam mengerjakan sesuatu, hendaklah kita mengfokuskan diri dalam menyelesaikannya. Fokus bisa diartikan dengan bekerja sungguh-sungguh. Insya Allah, dengan cara demikian, lambat-laun apa yang impian kita akan menjadi kenyataan. “Man jadda wa jada” (barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya).

2. Tidak Membuang-Buang Waktu

Dalam pribahasa Arab dikatakan, “Lan tarji’a ayyaamu al-latii madhat” (Tidak akan pernah kembali hari-hari yang telah berlalu). Sebab itu, dalam rangka mengejar kesuksesan, kita harus memanfaatkan waktu dan peluang sebaik-baiknya. Kalau tidak, maka waktu akan membinasakan kita. Ingat, waktu bagaikan pedang, kalau kita tidak handal menggunakannya, bisa-bisa kita yang akan dilukainya, “Al-Waktu kaa shoifi in lam taqtho’hu qatha’aka.”

3. Menunaikan Zakat

Sesungguhnya dalam harta-harta yang kita miliki, itu terdapat hak-hak orang miskin. Sebab itu, kita harus menunaikan zakat, demi kesucian harta yang kita miliki. Jangan sampai, kasus Qorun yang ingkar akan nikmat Allah, setelah dia dianugerahi kenikmatan harta, menimpa diri kita. Selain itu, dengan jalur zakat, secara secara sosiologis, sebenarnya dalam rangka membangun relasi yang baik dengan pihak luar, sehingga mereka tertarik untuk menjalin hubungan dengan kita.

4. Memelihara hawa nafsu sahwat

Tidak usah jauh-jauh untuk menggambarkan betapa persoalan seks yang diumbar di sana-sini, telah menyebabkan kehancuran orang-orang tersohor. Para politikus, selebritis, pengusaha, dll, banyak ‘berguguran’ karirnya, lantaran perilaku seks yang mereka lakukan di sembarang ‘tempat’. Sebab itu, akan lebih baik bagi kita menikah sebagai jalur yang suci dalam melampiaskan nafsu shwat, apabila ia tidak tertahankan lagi. Dan cara ini, justru akan menghantarkan kita kepada kehormatan dan kemulyaan hidup.

5. Amanah

Amanah merupakan sifat yang sangat penting dalam meraih keuntungan. Dengannya akan terbangun kepercayaan orang lain terhadap kita. Sebaliknya, ketika kita berbuat curang, sekalipun hanya sekali dan orang lain merasakan efeknya, berarti kita telah membangun stigma/citra buruk diri kita sendiri, yang kemudian membuat orang enggan untuk menjalin hubungan dengan kita.

6. Menjaga Sholat

Sebagaiman yang telah dituturkan di atas, bahwa perburuan keuntungan/kebahagiaan seorang muslim, skupnya tidak hanya dunia semata, tetapi jauh ke depan, yaitu akhirat. Sebab itu, apapun profesi kita, jangan lupa untuk senantiasa melaksanakan sholat, sehingga kebahagiaan kedua-duanya bisa kita raih.

Demikianlah di antara kiat-kiat yang dusugukan Al-Quran untuk kita, agar mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Keseluruhan kiat-kiat ini, merupakan kandungan ayat-ayat Al-Quran yang tercantum dalam surat Al-Mukminun, ayat 1-11. Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin, amin yaa rabbal ‘aalamin. Wallahu ‘alam bis-showab.

* mahasiswa STAIL

Kamis, Juni 17, 2010

Dunia itu Fatamorgana

Banyak sekali ayat ataupun hadits-hadits Rasulullah, yang menyatakan tentang perbandingan antara keutamaan dan kenikmatan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia, yang mana akan didapati betapa jauhnya kemuliaan diantara keduanya, bahkan tidak sedikit akan adanya celaan terhadap kehidupan dunia. Akan tetapi celaan tersebut tidaklah ditujukan kepada siang dan malamnya, bumi tempat dunia ini berada, lautan, sungai-sungai, hutan dan yang lainya karena semua itu adalah nikmat Allah bagi hamba-hambaNya, tetapi celaan itu ditujukan kepada polah tingkah anak Adam dan penghuninya terhadapnya. Allah Ta'ala berfirman :”ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri diantara kalian dan saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak”. (QS. Al-Hadid : 20)

Kasih Ibu Sepanjang Masa

Arham FA
Mahasiswa STAIL semester VIII

Pernahkan anda mendengar lantunan lagu Iwan Fals “Ibu”? Kalau belum, sempatkanlah walau sejenak. “Ribuan kilo jalan yang kau tempu, lewati rintangan untuk aku anakmu, ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah” Demikian Iwan Fals dengan begitu puitis namun gamblang dalam lantunan lagu, menggambarkan beratnya kehidupan yang harus dijalani seorang ibu demi mendidik dan membesarkan buah hatinya, Kita!
Mari sejanak hadirkan kembali wajah sang ibu dalam bayangan kita. Dengan seizin Allah, genangan air mata akan membanjiri kelopak matanya yang mungkin sudah sekian lama kita biarkan tak menyapanya. Kerut di pipinya mengisyaratkan kelelahan yang sangat, tenaga yang mulai habis dimakan waktu seolah tak lagi sanggup sekedar mengangkat tubuh rapuhnya. Di bola matanya, nampak jelas guratan berat kehidupan yang telah dilaluinya. Namun itu sama-sekali tak memudarkan cinta kasihnya pada kita, doa-doanya dalam sujud tak terhenti dilantunkan untuk kita, anaknya tercinta.
“Cinta anak sepanjang gala, cinta ibu sepanjang masa”. Pepatah yang biasa kita dengar untuk melukiskan betapa kita tidak akan pernah sanggup membayar berapapun dan dengan apapun cinta yang pernah diberikan oleh ibu. Bahkan Huwaish al Qorni, sahabat Rasulullah, rasa ingin membalas cinta sang ibu membuatnya rela ingin menggendong ibunya pulang pergi ibadah haji. Bahkan ada sahabat yang dilarang pergi berperang bersama Rasul, lantaran tidak ada yang mengurus ibunya yang sudah renta. “rawat dan layani ibumu.” Demikian perintah Rasul kepada pemuda itu.

Rabu, Juni 16, 2010

Berburu Karomah Cinta

Hidup tanpa cinta
Bagai taman tak berbunga
Begitulah kata para pujangga”

Demikianlah sya'ir lagu yang dibawakan oleh 'Bung' Haji Roma Irama, yang menggambarkan akan kehampaan dunia, tanpa dihiasi cinta. Cinta adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada anak manusia, bahkan -bagi orang mukmin- keberadaannya telah menjadi syarat akan keimanan mereka, “Tidak beriman di antara kalian, hingga kalian mencintai saudara kalian, sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri”, demikianlah penegasan Rasulullah, akan anjuran kepada kaum muslimin untuk menyebarluaskan cinta antarsesama, khususnya, terhadap saudara seiman.
Cinta adalah sebuah legenda yang tidak pernah habis untuk dibahas. Ia datang dan pergi tanpa harus permisi. Tiba-tiba ia hinggap di hati, dan bisa jadi, sekejab kemudian ia menghilang. Itulah cinta, penuh dengan dinamika.

Bagi mereka yang sedang dimabuk cinta, maka mereka akan mengorbankan apapun yang dimiliki, demi mewujudkan apa yang dicintai. Bukan cinta namanya, kalau seseorang tidak mau berkorban untuk menggapai apa yang dicintainya, karena memang cinta identik dengan pengorbanan.

Nah, di sini lah kita harus mewas diri terhadap cinta, sebab kalau kita lengah, harga diri kita akan tergilas olehnya. Bahkan, akhirat kita juga akan menjadi taruhannya. Apa sekejam itu cinta? Yaa, tapi tetap tergantung kepada siapa yang mengendalikannya.

Para Budak Cinta

Kalau diumpamakan, cinta itu bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi ia bisa menjadi inspirasi yang mampu melejitkan diri. Dan di sisi yang lain, ia bisa menjelma menjadi sosok yang akan menghancurkan kita sendiri. Dan hal tersebut akan terjadi, apa bila kita memposisikannya (cinta), laksana seorang raja yang harus ditaati titahnya, tanpa harus mempedulikan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Sang-Penganugerah cinta, Allah.

Sepertinya, hal inilah yang sedang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita saat ini. Betapa banyak orang, baik itu rakyat ataupun pejabat, mereka telah menjadi budak-budak cinta. Rasa malu sepertinya telah sirna, karena kerakusan mereka di dalam memenuhi hajat cinta.

Perhatikanlah, kasus perzinaan, sepertinya telah menjadi berita biasa, karena hampir setiap saat kita disuguhkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang memilukan tersebut. Atas dasar suka sama suka, dengan 'lapang dada' mereka melakukan perbuatan keji, yang dimurkai Allah tersebut.

Ini masih dalam konteks, sama-sama 'ridha'. Belum lagi kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Kasus korupsi, yang didasari oleh cinta terhadap harta yang berlebihan, telah menyebabkan negeri ini menjadi salah satu negeri terkorup di dunia. Ratusan ribu anak putus sekolah dan mati karena kelaparan, disebabkan asupan uang yang harusnya mengalir ke tangan mereka, justru tersendat di kantong-kantong para koruptor. Ironinya, 'budaya' korupsi ini tidak hanya melanda kolongan elit, namun, mereka yang masih duduk di kelas 'teri' pun tak mau ketinggalan.

Cinta yang brutal macam inilah, yang benar-benar akan menggiring pemiliknya, selangkah demi selangkah menuju gerbang kehancuran di dunia. Lebih-lebih di akhirat kelak.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur segalanya, temasuk masalah cinta dengan begitu indah, sehingga tidak menjerumuskan kepada kebinasaan. Dalam Al-Quran, terdapat sosok suri tauladan yang sangat agung, yang mampu mengelola cintanya, dan dengan hal tersebut, beliau dimuliakan oleh Allah. Dia adalah Nabiullah Yusuf 'Alaihissalam.

Dari sekian banyak kisah para Nabi yang tertera dalam Al-Quran, kisah Nabi Yusuf, merupakan kisah yang paling unik, sebab kisahnya memiliki 'page' tersendiri. Mulai dari awal surat hingga akhirnya, mengisahkan perjalanan beliau. Hal ini tentu saja karena di dalam dirinya terdapat pelajaran-pelajarn yang sangat penting, yang harus kita ikuti. Dan diantaranya adalah tauladan cinta.

Beliau merupakan sosok yang sangat berpegang teguh dalam menjaga kesucian cinta. Dan itu dipertahankan, tidak hanya dalam kondisi sukar, dalam keadaan nyaman pun prinsip ini tetap dipegang erat-erat.

Penolakan terhadap bujuk rayu Zulaikha untuk melakukan perbuatan keji (zina) adalah bukti akan kekuatan beliau di dalam menjaga prinsip, untuk tidak mencederai kemurnian cinta. Ia sadar apa yang akan dilakukannya ini merupakan perbuatan bejat yang dimurkai oleh Allah, dan yang akan membinasakannya. Pada akhirnya, sekuat apapun usaha Zulaikha untuk menundukkan hati Yusuf agar takluk di pangkuannya, gagal total dan Yusuf terhindar dari dosa besar.

Ketika beliau telah diangkat menjadi bendahara negara yang menangani mesalah pangan, tidak serta-merta posisi tersebut menjadikan beliau tamak harta (sebelumnya beliau pernah menjadi budak).

Begitu pula, tatkala ada kesempatan untuk membalas perilaku kakak-kakaknya yang telah membuangnya ke dasar sumur, tidak beliau laksanakan, karena memang cinta yang bersemayam di hati beliau benar-benar cinta yang murni, yang lebih mencintai untuk memberi maaf, dari pada harus membalas, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 92)

Inilah di antara kisah perjalanan cinta Nabi Yusuf, yang secara nyata telah mampu mengantarkan beliau ke posisi mulia. Firman Allah dalam Al-Quran, “Mereka berkata, “demi Allah, sungguh Allah telah melebihkan engkau (Yusuf) di atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang bersalah.” (Yusuf: 91)

Cinta yang Berkaromah

Dari ulasan di atas, bukan berarti Islam melarang umatnya untuk mencintai lawan jenisnya, ataupun harta yang mereka miliki. Justru sebaliknya, Al-Quran menjelaskan, bahwa memang telah dihiasi manusia itu keindahan berupa cinta terhadap istri, anak, harta dan lain-lain, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik,” demikian Firman Allah dalam Al-Quran, surat Al-Imron, 14.

Pertanyaannya, bagaimana cara mengantarkan cinta, hingga mendatangkan karomah (pengaruh baik) bagi setiap pribadi yang sedang dirasuki olehnya, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Yusuf?

Allah sebagai Penanganugerah cinta telah menjelaskan dalam Al-Quran, bahwa untuk mendapatkan hal tersebut, maka, orang itu harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarkinya. Cinta memiliki hirarki, ketika cinta telah mengikuti jejak hirarki tersebut, maka, kemuliaan yang didasari oleh cinta pun akan diperoleh.

Adapun hirarki pertama, dan itu harus menjadi landasan untuk mencintai hal-hal yang lainnya adalah cinta ke pada Allah. Allah sebagai pecipta manusia, yang telah menganugerahkan kepada mereka bumi dan apa yang ada di dalamnya, harus kita utamakan. Dan ketika hal tersebut kita lakukan, kita akan menuai akan manisnya iman. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah, ada tiga hal yang akan menjadikan seseorang mengecap manisnya iman, dan salah satu di antara tiga hal tersebut adalah, mencintai Allah di atas segalanya.

Mencintai Allah, menuntut kita untuk mencintai apa yang Ia cintai, dan membenci apa yang Ia benci, termasuk juga, dengan menjalankan apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan menjauhi apa yang dilarang.

Hanya dengan inilah, kita bisa membuktikan akan ketulusan cinta kita kepada-Nya. Allah berfirman tentang hal ini, “Katakanlah (Muhammad), “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Imran: 31).

Cinta model ini pula, yang telah mengantarkan Umar bin Khathab, menjadi sosok yang mulia, yang sebelumnya, merupakan sosok yang bengis. Al-kisah, pada suatu hari Rasulullah menanyai tentang besar cintanya terhadap beliau. Umar menjawab, “Aku mencintaimu ya Rasulullah melebihi cintaku kepada semua yang lain kecuali diriku sendiri”. Mendengar jawaban demikian, Rasulullah akhirnya menimpali, “Tidak wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”

Ketika cinta telah mengikuti hirarki demikian, maka, cinta kita terhadap yang lainnya akan lurus. Cinta terhadap istri, anak-anak, keluarga, harta benda, jabatan, akan menjadi lurus kalau ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta kepada Allah. Tidak akan ada cerita tentang penyelewengan cinta, yang dilakukan bani Adam, ketika cinta mereka telah menapaki jejak cinta yang telah ditetapkan oleh Allah. Sikap sami'na wa atha'na (kami dengar dan kami taati) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rasulnya (tanpa harus mendiskusikannya terlebih dahulu), juga menjadi cirri akan kemurnian cinta kepada Ilahi Rabbi.

Dan cinta tipe inilah yang telah diterapkan oleh Nabi Yusuf, sehingga beliau dikaruniai kemuliaan oleh Allah. Simaklah jawaban beliau, ketika dibujuk rayu oleh Zulaikha, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik….” (Yusuf: 23).

Kesimpulannya, untuk meraih karomah cinta, maka, kita harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarki yang telah dipaparkan di atas. Mudah-mudahan Allah mencatat kita termasuk golongan orang-orang yang telah menapakkan cinta sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Yusuf 'Alaihi Wassalam. Wallahu'alam bis-shawab.

Lisanpun Bisa Berbisa

Oleh Robinsyah
(Mahasiswa STAIL jurusan Dakwah)

Pepatah terkenal mengatakan, “Mulutmu adalah harimaumu.” Gara-gara perkataan keluar tanpa difikirkan, justru mengakibatkan kerugian. Kasus ini bisa kita contoh pada kerusuhan di Batam baru-baru ini. Kerusuhan yang melibatkan ribuan buruh PT Drydocks World Graha beberapa waktu lalu, ditengari akibat ucapan bernada rasis oleh seorang pekerja asing asal India.

Ketajaman lidah melebihi mata pedang. Banyak orang celaka karena tidak dapat menjaga lidahnya. Namun tak sedikit pula orang yang mulia, dihormati, disegani dan dipercaya karena lidahnya. Golongan ini karena mampu mencegah dan mengatasi bahaya yang ditimbulkan oleh lisannya.

Sudah telah banyak dicontohkan di hadapan kita semua. Betapa banyak bencana atau musibah yang ditimbulkan akibat lisan seseorang. Seseorang bisa melakukan pembunuhan hanya karena sebuah kata-kata yang dinilai menghina.

Suatu ketika Umar bin Khatab mengunjungi Abu Bakr. Ketika itu, Umar mendapatinya sedang menarik-narik lidah dengan tangannya. Mendapati peristiwa tersebut, seraya Umar bertanya, “Apa yang sedang anda lakukan? Semoga Allah mengampunimu!” Abu Bakr menjawab, “Inilah benda yang akan menjerumuskanku ke neraka.”

Dalam banyak sabdanya, Rosulullah senantiasa berpesan ke pada ummatnya supaya senantiasa menjaga lisan, agar tidak mudah “memuntahkan” kata-kata yang bisa menyelakakan diri sendiri, lebih-lebih orang lain.

Selain kemaluan, lidah merupakan salah satu biang yang sangat berpotensial menggiring kita ke pada kebinasaan, "Barang siapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua dagunya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) maka aku menjamin untuknya surga." (HR. Bukhari).

Madu dan Racun Lisan

Secara kasat mata, lidah hanyalah bagian kecil dari organ tubuh manusia. Ia lentur, tidak bertulang. Namun, dibalik ‘kelembutannya’ itu, tersimpan kedahsyatan yang mampu menghantarkan manusia ke pintu gerbang kebahagiaan, sekaligus bisa menjerumuskan si empunya ke dalam kehinaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Ma’ud, “Wahai lisan, ucapkanlah yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung! Diamlah dari mengucapkan yang buruk,buruk, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal!”

Laksana sebuah pedang yang terhunus, ia akan bermanfaat ketika si pemilik memanfaatkannya untuk sesuatu yang berguna. Begitu pula sebaliknya, ia justru akan berubah menjadi beban siapa saja, ketika ia tidak mampu memanfaatkannya dengan baik, atau menggunakan untuk ‘membabat’ siapa/apa saja, tak peduli dirinya sendiri. Tentu yang demikian ini, sangat membahayakan bagi keselamatan dirinya, ataupun orang lain. begitulah kira-kira analogi dari pada lisan.

Dan perlu diketahui, sejatinya lisan itu lebih berbahaya dari pedang, lebih beracun dari pada bisa, sebab, ia bisa membunuh tanpa harus melukai, bisa melumpuhkan, tanpa ada perlawanan (fisik). Kenapa?, karena lemparan peluru-peluru (baca: kata-kata) nya, langsung menghujam pada titik kelemahan manusia, hati. “Al-kalaamu yanfudzu maa laa tanfudzuhu ibaru (perkataan itu bisa menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum –hati-).

Imam Al-Ghazali telah menetapkan lisan (banyak bicara), sebagai racun pertama hati, yang menyebabkan manusia jauh dari cahaya Ilahiayah. Dalam kitab nya yang ternama, “Ihya’ Ulummidin” beliau banyak menerangkan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh lidah.

Saat ini, sepertinya kebanyakan manusia telah terseret ke lembah kehinaan lisan. Betapa mudah mereka mengumbar kata-kata, tanpa mempertimbangkan efek sampingnya, apakah itu membawa mashlahah (kebaikan), atau, justru sebaliknya, mafsadat (keburukan).

Lisan seseorang adalah merupakan cerminan dari baik dan buruk dan cerminan kualitas iman seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus lisannya. Dan seseorang tidak akan masuk surga apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan lisannya." (HR. Imam Ahmad dan selainnya)

Macam-Macam ‘Bisa’ Lisan

Pada hakekatnya, banyak sekali jenis penyakit yang bersumber dari lisan ini. Sebagian, bisa menghantarkan mereka keluar dari Islam. Sebagian yang lain, melahirkan dosa yang besar, akan tetapi tidak menjatuhkan mereka ke pada kekafiran. Dan di antara penyakit itu adalah:

1. Ucapan Kufur
Ucapan kufur, merupakan ucapan paling buruk yang akan mengeluarkan kaum muslimin dari keimanan mereka. Barang siapa yang mengucapkannya dengan penuh kesadaran, missal, “Saya mengakui bahwa ada Tuhan selain Allah”, maka, secara langsung ia difonis sebagai orang murtad alias kufur (keluar dari Islam).

2. Ucapan Yang Mendekati Kekufuran
Saat ini, sepertinya tidak sedikit orang yang terbawa oleh arus kebebasan yang kebablasan. Berlindung dengan dasar Hak Asasi Manusia (HAM), dengan berani mereka mengeluarkan pernyataan yang sangat bertentangan dengan syari’at. Misalnya, seorang muslim berani mengharamkan poligami dan menghalalkan nikah sejenis. Ketika mereka ditegur, mereka justu mengancam dengan dalih melanggar HAM. Pada intinya, hak-hak Allah yang tertera di dalam Al-Quran, ingin mereka letakkan dibawah HAM mereka yang berdasarkan hawa nafsu.

3. Berbohong
Berbohong merupakan istilah yang tidak asing di telinga. Kita sering mendengarnya. Tapi, dalam kontek kehidupan, kita sering menyampingkannya. Padahal efek dari prilaku ini sangat luar biasa, minimal, ia akan menyebabkan si pelaku tidak tenang, terus bimbang dalam menjalani kehidupannya. Sebagaimana sabda Rosul, “Sesungguhnya kebenaran itu (membawa) ketentramandan kebohongan itu (mengakibatkan) kebimbangan.” (HR. Tirmidzi).

Dan bohong yang tingkatannya paling tinggi adalah, berbohong kepada Allah, Rosulnya, dan bersaksi dengan kesaksian yang palsu (terkecuali kalau dihadapan musuh). Dan contoh bahwa seseorang telah berbohong kepada Allah dan Rosul-Nya, ia memberikan penjelasan (fatwa), bahwa Allah dan Rosul-Nya telah berkata demikian, padahal itu bohong. Firman Allah, “Maka tidak ada kedzoliman yang lebih berat selain orang-orang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya.” (Al-‘Araf: 37).

4. Ghibah
Ghibah, menggunjing atau menggosip. Sebagaimana didefinisikan oleh Rosulullah, bahwa ghibah adalah jika , “Engkau menyebut/menceritakan saudaramu dengan ucapan yang (jika dia di depanmu) dia akan membencimu….” (HR. Imam Muslim).

Ditinjau dari segi hukum, ghibah adalah haram. Allah mengumpamakan orang yang doyan me-ghibah adalah mereka yang senamg memakan daging saudaranya yang sudah mati. Firman Allah, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya……” (Al-Hujurat: 12)

Di tengah arus informasi saat ini, ghibah telah menjadi sesuatu yang dikomersialkan, dan disenangi oleh sebagian orang. Acara infortaiment, adalah jenis ghibah di era modern. Cukuplah firman Allah di atas sebagai teguran bagi kita untuk menjauhi prilaku ghibah ini, apapun wujud perubahannya.

5. Fitnah
Rasa dengki dan iri hati terhadap kesuksesan/kebahagian seseorang, seringkali menjadi pemicu untuk memfitnah orang tersebut. Mencari-cari kelemahan, kemudian menyebarkannya ke pada khalayak umum, adalah wujud dari fitnah itu sendiri. Hal ini sangat dibenci oleh Allah dan Rosul-Nya, bahkan ia (fitnah) dikategorikan lebih kejam dari pada pembunuhan.

Banyak sekali ancaman Allah melalui lisan Rosul-Nya mengenai balasan bagi mereka yang suka memfitnah, salah satunya adalah hadits berikut ini, “Orang-orang yang suka mengumpat, mencela, mengadu domba, dan mencari-cari aib orang lain bakal digiring di masyar nanti dengan wajah berupa anjing.” (HR. Abu Syaik dan Ali bin Harits).

6. Sikhriyyah
Manusia diciptakan dengan diliputi oleh beberapa kelebihan dan kekurangan. Satu sama lain, pasti mempunyai dua hal ini, kelebihan dan kekurangan. dan untuk melengkapi antar mereka, maka manusia harus saling membantu, bukan dengan saling mencemooh antar satu sama lain. “Laa tahtakir man duunaka falikulli syain maziayatun.” (janganlah meremehkan siapa saja yang lebih rendah dari padamu, karena setiap sesuatu itu memiliki kelebihan). Demikianlah pribahasa Arab menggambarkan, betapa manusia itu jauh dari kesempurnaan.

Sayangnya, kadang karena dorongan hawa nafsu, secara tidak sadar/sadar kita telah meremehkan seseorang, baik itu dengan ucapan, tindakan ataupun dengan isyarat. Secara logika, sebenarnya kita pun menolak ketika ada seseorang yang meremehkan kita, sebab itu, kita harus menghindari perbuatan tercela ini. dan perlu diperhatikan, bahwa, belum tentu orang yang kita perolok-olokkan itu, lebih buruk dari pada kita yang mengolok-ngolokkan, bahkan, bukan suatu kemustahilan, ia lebih baik dari pada kita. Simaklah firman Allah berikut ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolo-ngolokkan kaum yang lain. (karena) boleh jadi mereka (diperolokkan) itu lebih baik dari pada mereka (yang memperolokkan).” (Al-Hjurat: 11)

7. Sibabah
Sifat ashabiah (kekelompokkan/kesukuan), kini telah menjakiti sebagian kaum muslimin. Tak jarang karena sifat ini telah mendarah daging, mereka mencela kelompok yang lain, yang tidak sejalan dengan perilaku mereka. Padahal, perselisihan di antara mereka, -hanyalah- perselisihan furu’iah, bukan yang ushul. Jangankan kita, yang masanya jaraknya jauh dengan masa Rosulullah, para sahabatpun, yang hidup di zaman Nabi, juga pernah berselisih pendapat. Masalahnya, perbedaan pendapat di jaman sahabat, tidak menjadikan merenggangkan tali persaudaraan mereka.

Lihat lah fenomena saat ini, karena kelompok lain tidak mengamalkan bacaan ini dan bacaan itu, amalan ini dan amalan itu, dengan mudah mereka menyalahkan antar satu sama lain, bahkan tak jarang juga mereka saling menyesatkan. Pebuatan macam inilah yang kemudian disebut dengan sibabah.

Hal ini sangat dilarang, sebagaimana sabda Rosul, “Mencela orang muslim itu menyebabkan kefasikan dan membunuhnya menyebabkan kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sikap mencela, bukan hanya dilarang untuk sesama muslim, terhadap waktu, angin, ayam jantan yang berkokok, juga berlaku demikian. Sabda Nabi, “Janganlah kamu mencela angin karena angin itu sebagian dari ruh (kekuasaan) Allah.” (Al-Hadits).

8. Memberi Dukungan Yang Buruk
Bukan suatu yang rahasia lagi, kalau ada sebagian orang, atas nama menjaga kekompakan, mereka sepakat untuk melakukan suatu makar, sayangnya, makar tersebut merupakan makar kemaksiatan. Seperti mencuri, menyuap, dan lain sebagainya. Saling mendukung dalam kejelekan/kemaksiatan semacam ini haram hukumnya, sekalipun ia tidak terlibat dalam tindakan makar tersebut. Allah berfirman, “Barang siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian dari dosanya.” (An-Nisa’: 85)

9. Gemar Mengucapkan Sumpah
Seringkali seseorang karena kepepet, dan demi meyakinkan lawannya, dengan mudah ia bersumpah atas nama Allah. prilaku umbar sumpah, merupakan prilaku buruk, yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang-orang mukmin. Firman Allah, “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina.” (Al-Qalam: 10)

10. Li’an
Li’an adalah memvonis orang dengan ucapan laknat. Sebagai seorang mukmin, kita dilarang keras untuk melaknat sesama saudara seiman. Ketika kita melakukannya, berarti, kita telah membunuh saudara kita sendiri. Rosulullah bersabda, “Mengucapkan laknat kepada orang mukmin (sama halnya) dengan membunuhnya.” (HR. Bukhari Musliam dan Duhhak)

Demikianlah di antara penyakit lisan, yang bisa membahayakan nasib kita (si empunya lisan) dan orang lain, di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak. Dan dalam rangka mencegah itu semua, perlu kiranya kita mengerjakan beberapa hal berikut ini:

1. Senantiasa meminta pertolongan kepada Allah atas bahaya lisan kita.
2. Basahilah ia dengan dzikir.
3. Berfikir terlebih dahulu (akan manfaat dan mudharat) sebelum bertutur.
4. Ketika kita menyadari akan kekeliruan ucapan kita, beristighfarlah, dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
5. Jauhkanlah diri dari kebiasaan mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat. "Di antara ciri kebaikan Islam seseorang adalah ketika bisa meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat." (H.R. Tirmizi dan Ibnu Majah).
6. Janganlah berbicara berlebihan atau melebih-lebihkan sesuatu.

Demikianlah di antara tips-tips yang akan membebaskan kita dari racun lisan. Mudah-mudahan, Allah menggolongkan kita termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga dan menghiasi lisan dengan dzikir-dzikir cinta, cinta kepada Allah.

Akhirul kalam, Keselamatan seorang manusia juga terletak dalam menjaga lidahnya. Allah menyeru umat-Nya agar menggunakan lidah untuk berzikir dan menyebut nama-Nya.

Nabi bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata benar atau diam." (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain ditegaskan, "Simpanlah lidahmu, kecuali untuk perkataan yang baik. Dengan bersikap seperti itu, engkau dapat mengalahkan setan." (H.R. Ibnu Hibban)

Pesan Nabi menegaskan agar kita harus berbicara yang baik dan benar atau lebih baik diam jika tak mampu. Wallahu ‘alam bis-shawab

Menciptakan Mujadalah Berakhir Maslahah

Oleh Robinsyah*

Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia. Mereka dianugerahi akal agar digunakan untuk berfikir tentang segala hal, masalah ketuhanan, kehidupan, lingkungan, dan lain sebagainya.

“Afala tatadzakkarun, afala ta’qilu,” adalah di antara redaksi firman Allah, yang menganjurkan manusia untuk memfungsikan akalnya untuk berfikir. Karena demikian, tidak sedikit dari manusia harus berselisih antarsesama, karena perbedaan cara pandang dalam menela’ah suatu masalah.

Kullu ra’sin ra’yun (setiap kepala –manusia-- itu mempunya pendapat), demikianlah bunyi pribahasa bahasa Arab yang menggambarkan betapa manusia itu memiliki keberekaragaman pendapat dalam mengkaji sesuatu.

Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak bisa mengelak dari hal ini; di perkuliahan seorang dosen akan berdebat dengan mahasiswanya, presiden dengan bawahannya (lawan politik ataupun masyarakat biasa), penjual dengan pembeli, dan lain sebagainya.

Karena dorongan hawa nafsu (baca: ingin menang sendiri), maka, tidak sedikit kasus silang pendapat ini, justru menjadi awal perpecahan dan pertikaian. Debat tidak lagi bertujuan untuk memecahkan suatu masalah, tapi justru dijadikan ajang saling menyalahkan, menghina, mencemooh, dan lain-lain, yang ujungnya –terkadang-- berakhir dengan anarkis.

Sebagi gambaran, ‘drama’ kekacauan sidang paripurna kasus Century, yang ditayangkan secara live oleh beberapa TV swasta beberapa waktu lalu, adalah salah satu potret betapa perbedaan pendapat, bisa berakhir dengan mempertaruhkan martabat, bahkan nyawa sekalipun.

Itu baru sekelumit contoh debat yang berakhir dengan bad ending. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain, yang pastinya tidak kalah seru.

Sejatinya perselisihan pendapat telah dimulai semenjak dahulu, sebelum manusia itu diciptakan. Ketika Allah menerangkan kepada para malaikat, bahwa Ia akan menyiptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, mereka (para malaikat) ‘mendebat’-Nya, seraya mengajukan argumen mereka, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (bumi), sedangkan kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? …” (Al-Baqarah 30).

Protes yang lebih keras keluar dari golongan iblis. Mereka tidak hanya menyatakan ketidaksenangan mereka terhadap hadirnya Adam, juga memperkeruh dengan menyombongkan diri karena alasan bahwa bahan penciptaan mereka (api) lebih mulia daripada Adam yang terbuat dari tanah.

Namun, setelah menyaksikan kebesaran kekuasaan Allah yang diperlihatkan melalui perantara Adam, maka malaikat pun tunduk terhadap kebenaran Allah. Adapun Iblis karena sifat iri, dengki yang menyelimuti, tetap membangkang, hingga dilaknat dan terusir dari surga.

Perselisihan pendapat, juga terjadi antara bapak manusia (Adam) dengan anaknya Qobil, ketika turun perintah, agar ia menikah dengan kembaran dari adiknya Habil, sedangkan Habil dipasangkan dengan kembarannya Qobil sendiri. Ia (Qobil) menolak perjodohan tersebut, dengan dalih kalau ia lebih pantas bersanding dengan kembarannya sendiri.

Meskipun demikian, bukan berarti setiap perbedaan itu harus berakhir dengan tragis. Allah dan Rasulullah-Nya telah mengajarkan kita, untuk berdialog dengan baik, ketika terjadi perselisihan pendapat, sehingga, dampak dari adu argumen tersebut, tidak harus berakhir dengan adu jotos.

Kemenangan yang mengagumkan oleh kaum muslimin atas orang-orang Quraisy (Fathul Mekah), tidak terlepas dari hasil dialog yang dilakukan oleh Nabi dengan utusan orang-orang Quraisy, Suhail bin Amru, dalam perjanjian perdamaian. Nabi tidak terprovokasi dengan syarat yang diajukan oleh Suhail, seperti, Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin Abdillah, harus mengembalikan sanak keluarga orang-orang Quraisy yang kabur tanpa seizin ahlinya, untuk memeluk Islam, dan lain-lain. Dan benar saja, justru dengan cara ini, kaum muslimin bisa meraih kemenangan tanpa harus bersusah-payah menghunuskan pedang.

Singkatnya, perselisihan pendapat itu bisa dibilang sudah menjadi sunnatullah. Tugas kita, bagaimana meramunya agar tidak melebar menjadi perpecahan.

Jidal (debat)

Apa jadinya bila ada seseorang yang terkenal kealimannya, kejujurannya, amanahnya, tapi, pada suatu hari, masyarakat mengetahui bahwa orang tersebut talah melakukan penipuan? Sudah barang tentu, citranya akan rusak. Dan untuk mengembalikannya ke pada posisi semula, bukanlah perkara yang mudah, atau yang lebih ekstrim lagi, sangat tidak mungkin.

Hal itu juga berlaku dalam bermujadalah. Esensinya, tujuan yang ingin dicapai untuk mencari kebaikan. Namun, ketika proses dan akhirnya justru melahirkan kerusuhan, alih-alih akan mendatangkan manfaat, justru ini akan memperparah permasalahan. Dampaknya, tentu citra pribadi, lembaga, agama, dan negara akan tercoreng.

Kasus kericuhan di gedung DPR RI (kasus Century), secara tidak langsung telah mencemari nama baik lembaga tersebut di mata masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Dan yang lebih memalukan lagi, mayoritas dari mereka adalah muslim. Dan ini, tentu juga telah menjadi tamparan bagi umat Islam.

Sebab itu, perlu kiranya para peserta menjaga kode etik dalam bermujadalah (berdebat), demi melancarkan acara tersebut, sehingga melahirkan citra positif/baik di mata masing-masing peserta, lebih-lebih publik.

Adabul Mujadalah

Dalam bahasa Arab, perdebatan dikenal dengan istilah al-mujadalah. Kata al mujadalah seakar dengan kata al-jidal yang artinya perdebatan sengit. Pendapat lain mengartikannya dengan tali yang terikat kokoh. Dari sini, kata al-jidal mengandung arti debat yang dilakukan dengan cara yang baik dan didasari dalil yang kuat dan benar.

Dan untuk mewujudkan itu semua, berikut di antara etika yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam bermujadalah (debat) :

1. Meluruskan Niat

Meluruskan niat dalam bermujadalah sangatlah penting. Ketika niat kita benar-benar murni mengharap ridla Allah untuk mencari kebenaran, maka, keputusan apapun yang dihasilkan, kita akan berlapang dada menerimanya. Yang terpenting bagi kita adalah telah menyampaikan pendapat kita yang diyakini kebenarannya. Sifat memaksakan kehendak, dan mencela pendapat orang lain, akan terhindari, karena kita faham bahwa hal tersebut dilarang oleh Allah.

Dan akan sangat berbeda ketika unsur duniawi (ingin dipuji, terkenal, uang, dan lain-lain), yang melandasi mujadalah ini. Ia akan mati-matian mempertahankan pendapatnya, sekalipun kesalahan telah tampak di pelupuk mata. Oleh sebab itu, jagalah niat.

2. Jujur Kembali kepada Rujukan

Di antara yang menyebabkan sukarnya menemukan benang merah dalam berdebat, karena kedua belah pihak di dalam menyampaikan argumen, tidak berlandaskan rujukan. Argumen, “menurut saya”, justru menjadi penyebab dari kesia-siaan debat.

Dalam memilih rujukan, kita pun harus selektif. Jangan sampai orang yang kita jadikan sandaran, ternyata orang yang salah, atau secara ilmu, kurang memumpuni. Ingat, hujjah yang sedikit namun kuat, itu lebih baik daripada hujjah yang banyak, namun lemah dan terbantahkan.

3. Berpegang Teguh pada Kebenaran

Sangat mustahil untuk menghasilkan titik temu antarpeserta mujadalah, apabila di antara mereka ada yang menutup-nutupi kebenaran. Sebagai seorang muslim, pantang baginya untuk menyembunyikan kebenaran, meskipun hal tersebut berasal dari lawan kita. Kita harus gentle mengakui kekeliruan kita. Dengan ini, mujadalah akan berakhir dengan menghasilkan satu keputusan yang jelas.

Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil. Dalilnya antara lain adalah firman Allah swt berikut :

“Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (TQs. An-Nahl : 125)

4. Memperhatikan Diri

Memang pada hakekatnya, mujadalah yang kita lakukan bertujuan untuk mengoreksi pendapat orang lain, yang menurut kita –mungkin- kurang benar. Meskipun demikian, bukan berarti kita lepas diri untuk mengevaluasi pernyataan kita sendiri. Sebab, sekiranya dari hasil mujadalah itu lawan kita akhirnya berubah menjadi lebih baik, maka itu merupakan satu keuntungan baginya.

Dan untuk meminimalisir kesalahan kita, perlu kiranya kita mengoreksi segala macam pembicaraan, sikap dan segala hal yang berkaitan dengan mujadalah kita.

5. Sportivitas

Ibarat pertandingan sepak bola, kedua pihak tentu menginginkan satu sama lain, bermain secara sportif. Dan di antara bukti yang menunjukkan kesportivitasan tim, mereka menerima kekalahannya ketika kalah, dan mengakui keunggulan lawan atas tim mereka.

Begitu pula dalam hal bermujadalah. Ketidakmampuan menerima kekalahan secara apa adanya menunjukkan bahwa peserta mujadalah telah terjebak dalam tipu daya, yang jauh dari kondisi sesungguhnya.

6. Menghormati Pihak Lain

Secara fithrah, semua orang membutuhkan kehormatan. Marahnya akan meledak-ledak, ketika kehormatannya tersebut diacak-acak oleh seseorang. Lebih menyakitkan lagi, kalau hal itu dilakukan di depan umum. Bagi para peserta mujadalah, harus saling menghormati antarmereka, terkait apakah pendapatnya diterima oleh lawan, ataupun ditolaknya.

Namun, hal ini bukan berarti menuntut peserta untuk berkompromi murahan atau kemunafikan yang rendah, atau berbohong dengan menunjukkan sifat-sifat yang kurang patut. Tidak demikian. Pernyataannya harus tetap dengan perangai tegas namun etis. Dan ini akan menumbuhkan perasaan dan akhlak karimah, yang merupakan sifat-sifat terpuji. Pada gilirannya, hal itu akan meningkatkan kemampuannya dalam memuaskan pihak lain dan kemungkinan gagasannya didengar oleh orang lain akan lebih besar.

7. Senantiasa Memilih yang Lebih Baik

Pernyataan yang baik dengan diiringi perilaku dan sikap yang terpuji, akan memberikan stigma yang berbeda kepada pihak lawan debat kita, sekalipun, mereka (lawan kita) itu menunjukkan sikap yang berbeda.

8. Perbedaan Pendapat dan Kasih Sayang

Ada orang bijak yang mengatakan, “cukuplah perbedaan (pendapat) itu berada di otak (akal), tapi tidak merasuk ke hati”. Artinya, jangan sampai silang pendapat menjadi titik awal terperciknya api permusuhan, perpecahan, dan lain sebagainya.

Kita harus senantiasa menjaga hati, jangan sampai mujadalah yang fungsinya untuk mencari kemaslahaan (kebaikan), tapi justru berakhir dengan kemafsadatan (kerusakan).

9. Tidak Emosional

“Awwalul ghadhabi junuunun wa akhiruhu nadamu,” (permulaan marah adalah gila, dan akhirannya adalah penyesalan). Demikianlah peribahasa menggambarkan sifat emosi/marah. Orang yang dikuasi oleh emosi, tidak lagi menggunakan akal pikirannya dalam bertindak. Yang ada hanyalah nafsu, nafsu, dan nafsu. Adapun akal sehat itu tenggelam, terkendalikan oleh nafsu amarah, maka hilanglah kejernihan otaknya untuk menganalisa suatu permasalahan.

Dalam bermujadalah, hal ini harus dihindari. Alih-alih akan menghasilkan keputusan yang tepat, justru nantinya kerusakan yang lebih parah akan terjadi, ketika para peserta mujadalah berdebat dengan emosi.

10. Tidak Menampakkan Kurang Perhatian

“Hormatilah orang lain, maka orang lain pun akan menghormatimu”. Prinsip ini sangat perlu dipegang erat-erat oleh para peserta mujadalah. Jika seseorang terlihat kurang memberikan penghargaan, penghormatan dan perhatian pada orang lain, hal ini sama artinya bahwa ia tidak ingin dihargai atau diperhatikan orang lain.

Ketika proses mujadalah tidak berlandaskan hal ini, besar kemungkinan kericuhan akan terjadi. Sebab itu saling perhatian merupakan salah satu hal yang perlu tercipta dalam suasana mujadalah.

Demikianlah di antara prinsip-prinsip dalam mujadalah yang harus dimiliki oleh para peserta, sehingga, mujadalah yang dilakukan tersebut, benar-benar membawa kemaslahatan.

11. Tak Mendebatkan Al-Quran

Yang terpenting adalah, tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang kafir (QS Al-Ghafir : 44).

Berdebat tentang Al-Quran untuk menetapkan bahwa Al-Quran itu bukan mukzijat atau bukan berasal dari Allah, merupakan suatu kekufuran dan dianggap keluar dari Islam.

Rasulullah saw bersabda: “Berdebat tentang Al-Quran adalah kekufuran.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

*mahasiswa STAIL dan Anggota API (Asosiasi Penulis Islam) STAIL

Selasa, Mei 11, 2010

MENYOAL SEMBOYAN PENDIDIKAN

 
MENYOAL SEMBOYAN PENDIDIKAN : SATU ANALISA TENTANG MORALITAS BANGSA
( Refleksi Hari Pendidikan Nasioanal )
Oleh : Darmawansah*

Ing ngarso sung tulodo
Ing madyo mangun karso
Tut wuri handayani

Kalimat diatas bagi sebagian orang mungkin cukup familiar. Namun bagi sebagian lain mungkin satu hal yang tidak dikenal alias asing. Yaa…, kalimat tersebut adalah semboyan pendidikan negara kita, Indonesia. Layakkah kalimat di atas menjadi semboyan pendidikan kita?

Ahistoris

Ditetapkannya kalimat di atas sebagai semboyan pendidikan merupakan sebuah kecelakaan sejarah. Pilihan pemerintah yang menetapkannya sebagai semboyan pendidikanpun terlalu berlebihan dan terkesan dipaksakan. Mengapa demikian ? Karena pada dasarnya, semboyan tersebut memiliki “cacat” baik ditinjau dari aspek historis maupun ideologis.

Perlu diingat, semboyan tersebut berasal dari Ki Hajar Dewantara, pendiri sekolah Taman Siswa sebuah sekolah berhaluan kejawen di Yogyakarta. Sekolah ini sebenarnya tidak terlalu istimewa, terbukti dari cabangnya yang sedikit dan alumninya yang tidak seberapa banyak. Bandingkan dengan sekolah Islam -Muahammadiyah misalnya- yang memiliki ribuan sekolah di seluruh Nusantara, dan dari segi usia jauh lebih tua. Belum lagi jumlah alumninya yang ada di mana-mana. (Namun anehnya, Bapak Pendidikan Nasional kita bukanlah pendiri Muhammadiyah-KH.Ahmad Dahlan- melainkan Ki Hajar Dewantara- pendiri Taman Siswa).

Jumat, April 16, 2010

Jangan Ceroboh Memilih Jodoh*

 Oleh Robinsyah
[mahasiswa dan anggota Asosiasi Penulis Islam (API) STAIL]

“Kapan kalian menikah, kapan punya anak, kapan punya adik?” Demikian salah satu bunyi iklan KB di TV. Sudah menjadi fitrah, jika manusia memiliki rasa mencintai terhadap lawan jenisnya. Laki-laki mencintai wanita, begitu pula sebaliknya, wanita mencintai laki-laki

Yang tidak fitrah, jika ia mencintai sesama jenis. Karena hal ini telah menjadi naluri, mau-tidak mau, ia pun harus memenuhi kebutuhannya. Kalau tidak, justru akan berdampak buruk pada diri sendiri, dan tentu saja terhadap keeksistensian manusia. Karena itu, biasanya, pertanyaan-pertanyaan seperti iklan itu selalu hadir pada setiap orang, mana-kala ia telah mengalami cukup umur untuk itu.

Secara umum, semua orang pasti menginginkan pendamping yang mampu memberikannya kebahagiaan. Dan seiring dengan perkembangan zaman (teknologi dan informasi), berbagai acara dimunculkan sebagai media penghantar, yang memfasilitasi tercapainya tujuan tersebut. Sebagai contoh, acara gelar jodoh di sebuah stasiun TV semarak pengikut.

Ada juga, SMS jodoh. Tinggal ketik “REG (spasi) Jodoh dan kirim ke ….” Maka secara spontanitas, ciri/tipe pasangan yang cocok bagi pemirsa yang sedang berkelana mencari pasangan, akan muncul. Gaung bersambut, acara sejenis ini, banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia.

Pertanyaannya, benarkah cara-cara demikian akan menghasilkan pasangan yang akan memberi kebahagiaan seperti yang didamba-dambakan? Lalu, bagaimana sebenarnya tipe pasangan yang bisa menghantarkan kepada kebahagiaan hakiki itu?

Nikah Sebagai Ibadah

Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur kehidupan manusia secara proporsional, sehingga tidak satu pun ajaran yang telah ditetapkannya, kecuali membawa kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Sebagai makhluk biologis, sudah barangtentu mereka (manusia) membutuhkan pasangan hidup, untuk melampiaskan hasrat birahinya.

Dan demi kebaikan tatanan manusia, baik secara individu ataupun jama’ah, syari’ah atau sosial, Islam menganjurkan kepada bani Adam untuk menikah, sebagai sarana yang suci, yang diberkahi, dalam menyalurkan naluri biologisnya tersebut. Selain itu, ia juga menjadi sarana yang akan menjauhkan manusia dari perbuatan zina, yang mana tindakan tersebut telah diharamkan oleh Allah. "Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang paling buruk" (QS. Al-Israa':32). Demikianlah ketegasan Allah, mengenai hubungan di luar nikah.

Anjuran untuk menikah, secara langsung difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran, surat An-Nisa’ ayat 2, ”Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....”

Sedangkan dalam hadits, Rasulullah bersanda: “Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah; karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari)

Karena menikah adalah ibadah, oleh sebab itu proses menuju ke sana juga harus berlandaskan syari’at (silakan dibuka semua kitab fikih yang membahas tentang syarat dan rukun nikah). Tidak itu saja, untuk memastikan bahwa calon pasangan kita itu merupakan tipe orang yang akan membawa keselamatan bagi keluarga di dunia dan akhirat, maka kita harus memperhatikan, kemudian malaksanakan pesan Nabi mengenai kriteria calon pasangan hidup, yang dapat membawa angin keselamatan.

Sabda beliau, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, ”Sesungguhnya Nabi Shalallahu ’alaihi wassallama, bersabda ”sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang beragama.” (Riwayat Muslim dan Tirmidzi)

Melalui sabdanya ini, beliau, Rasulullah, menjelaskan secara transparan bahwa dalam memilih calon pendamping hidup, siapapun dia, tiga alasan yang menjadi standar acuan seseorang mencari pendamping hidup; kecantikan/ketampanan, kekayaan, nasab (keturunan), dan agama.

Bagi mereka yang normal, tentu sangat mengharapkan kalau calon pasangannya itu, merupakan perpaduan dari tiga unsur ini. Siapa yang tidak bangga memiliki pendamping yang shaleh/shalehah, tampan/cantik, lagi tajir. Akan tergambar begitu indahnya mahligai rumah tangga masa depan, yang dibangun dengan berpondasikan keimanan, serta dihiasai oleh kecantikan dan kemewahan. Terbayang jelas di pelupuk mata, betapa indahnya surga dunia yang akan mereka lalui berdua bersama anak-anak keturunan mereka mendatang.

Masalahnya, manakah yang harus diprioritaskan, ketika kita ditemukan dengan mereka yang tidak memenuhi tiga standart di atas? Karena bukan sesuatu yang mudah, untuk menemukan tipe macam ini. Jawabannya, perhatikanlah kalimat terakhir dari sabda Nabi di atas, ”Maka pilihlah yang beragama”.

”Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kecantikannya, karena nasabnya, karena agamanya. Maka pilihlah alasan menikahinya karena agamanya. Kalau tidak maka rugilah engkau,” demikian sabda Nabi.

Jelas sudah, seberapapun elok, cantik, tampan, paras calon pasangan kita, dan setinggi apapun gundukan permata dan berlian yang menumpuk di rumahnya, tetapi ketika nilai-nilai keagamaan tidak terpancar dari jiwanya, maka tetap agama menjadi prioritas utama.

Model pilihan macam ini harus kita hindari, sebab bisa jadi, wajah nan cantik/tampan bak sinar rembulan di tengah gelapnya malam, harta yang berlimpah ruah hingga tak terhitung jumlahnya, justru menjadi momok penghancur mahligai rumah tangga, karena kesombongan diri terhadap apa yang mereka miliki. Sungguh hamba sahaya yang hitam kelam lagi beriman, takut kepada Allah dan Rosul-Nya, lebih baik dari mereka tersebut.

Rasulullah mengingatkan kita melalui sabdanya:

”Janganlah kamu menikahi perempuan karena kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan membawa kerusakan bagi diri mereka sendiri. Dan janganlah kamu menikahi karena mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu menyebabkan mereka sombong, tetapi nikahilah mereka atas dasar agama. Dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik, asal ia beragama,” (Riwayat Baihaqi)

Lebih tegas lagi, dalam sabdanya yang lain Rasulullah menjelaskan, ”Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan barang siapa yang menikahi karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.” (Al- Hadits)

Mereka Perhiasan Dunia

Kasus perceraian artis karena skandal perselingkuhan, sudah menjadi rahasia umum. Betapa sakitnya perasaan salah satu pihak, mengetahui kalau istri/suaminya, bergandengan mesra dengan orang lain. Hal tersebut tidak mungkin terjadi, sekiranya kedua belah pihak benar-benar faqih fiddien (faham agama).


Si suami, misalnya, tidak mungkin berselingkuh ketika ia bertugas di luar rumah, karena dia faham akan syari’at. Lebih-lebih, ketika ia mengingat, bagaimana si istri melayaninya dengan begitu baik, mendidik anak tanpa kenal lelah, menjaga harta dengan amanah, mengingatkan ketika dia lalai, memberi motivasi ketika semangat turun, dan sebagainya, dan sebagainya.


Pria/wanita yang menjadikan syariat sebagai landasan hidupnya, menjadi pegangan dalam bekerja di manapun berada. Selain itu, akan lebih mudah baginya, mendepak godaan dari luar. Bayangkan, sekiranya ada suami tak tunduk syariat, juga ada istrinya tidak bisa menjaga hijabnya, istri tidak taat kepada suami? Pasti kesempatan buruk sangat terbuka lebar. Dan contoh yang demikian itu, bisa kita ambil sampelnya dari kasus perceraian para selebritis.

Suami yang saleh --yang taat kepada Allah dan Rosul-Nya-- ia akan senantiasa menenangkan hati dan menentramkan jiwa istrinya. Begitu sebaliknya. Istri yang beriman, ia senantiasa menjaga harta dan dirinya di kala suami tak ada di rumah. Hal ini sejalan lurus dengan sabda Rosulullah, ”Sebaik-baik perempuan yang apabila engkau memandangnya, ia menyenangkanmu; dan jika engkau menyuruhnya, diturutnya perintahmu; dan jika engkau bepergian, dipeliharanya hartamu dan dijaganya kehormatanya.”

Betapa banyak artis yang lebih memilih “kembali ke panggung” untuk mencari ketenaran dibanding menjaga rumah-tangganya di rumah? Tak sedikit di antara mereka bahkan rela memilih cerai daripada kehilangan ketenaran yang pernah diraihnya.

Apakah tipe seperti ini yang sedang Anda cari? Tentu tidak. Lantas wanita yang bagaimanakah yang mampu mencerminkan sosok di atas ini? Tidak lain, hanya mereka yang faham akan agama, karena dengan faham agama, mereka akan mengerti akan tugas-tugas sebagai istri terhadap suami.

”Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri sepeninggal suaminya karena Allah telah memelihara,” terang Allah dalam surat An-Nisa’, ayat 34, mengenai keutamaan wanita salehah.

Trik Syar’i

Islam adalah agama yang memberi solusi. Begitu pula dengan permasalahan di atas. Al-Quran telah menyodorkan rahasianya kepada kaum muslimin, sehingga mampu mendapatkan pasangan, yang sesuai dengan kriteria di atas, tanpa harus melanggar syari’at, seperti, berkhalwat, dan sejenisnya. Lalu apa rahasianya?

Allah menerangkan dalam Al-Quran :

”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji, untuk perempuan-perempuan yang keji pula (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik, untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untu perempuan-perempuan yang baik (pula)..........” (An-Nur 26).

Mustahil akan ditemukan yang saleh/salehah, jika seseorang mencarinya di tempat-tempat yang tidak baik dan dengan cara yang tidak diridai Allah dan Rasul-Nya. Pasangan yang mulia tak mungkin didapatkan dengan ramalan dukun, atau mengikuti anjuran TV dengan ikut reg_spasi. Akan lebih mudah dengan memperbaiki diri dengan sempurna mungkin, maka jodoh yang sempurna itu akan tiba. Dalam kata lain, jodohnya tergantung kepada kepribadiannya. Ketika kepribadiannya baik, maka, ia pun akan mendapatkan yang terbaik, ketika kepribadiannya buruk, ia pun akan mendapatkan yang setimpal.

Kesimpulannya, mencari pasangan hidup, bukan seperti seseorang yang membeli kucing di dalam karung. Sebab, indah suaranya, belum tentu elok rupanya. Semakin tinggi gelarnya, juga belum tentu tinggi ilmu agama atau akhlaknya. Sekali lagi, “Jangan ceroboh dalam mencari jodoh, sebab ia merupakan salah satu penentu dari kebahagiaan Anda!” Wallahu 'alam bis-shawab. (artikelmahasiswa/ldk-stail.blogspot.com)

*Tulisan ini telah dimuat oleh www.hidayatullah.com pada tanggal 24 april 2010


Rabu, April 07, 2010

LDK STAIL silaturrahim ke JMMI ITS


Pada hari ahad tanggal 28 maret 2010, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) STAIL mengadakan kunjungan  ke LDK ITS yang bernama  Jama'ah Masjid manarul 'Ilmi
(JMMI) ITS  dalam rangka silaturrahim dan sharing program kerja. Agenda ini merupakan Program Kerja (Proker ) Departemen Dakwah LDK STAIL yang bertujuan terciptanya ukhuwah Islamiyah antara aktivis LDK STAIL dan aktivis LDK-LDK se surabaya serta terciptanya akselerasi dakwah kampus.

Minggu, April 04, 2010

Tradisi Ilmu, Kejatuhan dan kejayaan Suatu Bangsa


Oleh Tatang Hidayat*
Tidak dapat dipungkiri bahwa kaum muslimin sangat maju karena tradisi Ilmunya, bahkan kejayaan ilmu pengetahuan dijaman kejayaan Islam telah mempengaruhi secara signifikan pertumbuhan peradaban barat. Tapi kini umat Islam terjatuh, menjadi bangsa yang tidak disegani bahkan menjadi bulan-bulanan bangsa barat, hal ini mirip dengan apa yang di isyaratkan Nabi 14 abad silam “akan datang suatu masa dimana umat islam ibarat makanan yang diperebutkan”.

Sabtu, April 03, 2010

Dekonstruksi Syariah

Pada rabu malam (17/3), LDK (Lembaga Dakwah Kampus) STAIL melalui program KARUMAH (Kajian Rutin Mahasiswa) kembali mengkaji tema-tema seputar pemikiran Islam (Islamic Thought) di ruang perpustakaan kantor majalah Suara Hidayatullah. Tidak seperti biasanya, Peserta yang hadir sangat banyak, hingga kursi yang tersedia tidak cukup. Selain itu, peserta tidak hanya berasal dari mahasiswa STAIL, tapi juga dari aktivis JMMI (jama'ah masjid Manarul "Ilmi) ITS (Institut Teknologi Sepuluh November).Hadir sebagai pembicara ustadz Shohibul Anwar, ustadz yang rutin mengisi kajian di LDK STAIL. Tema yang diangkat dalam kajian kali ini cukup menggelitik, yaitu "dekonstruksi syariah". Tema ini sangat penting untuk dikaji, karena -menurut ustadz Anwar- berawal dari sinilah para aktivis liberal mengacaubalaukan ajaran Islam

Diskusi mengusut kriminalisasi Nikah Siri

Kasus nikah siri yang mencuat pada bulan-bulan terakhir menggerakkan LDK (Lembaga Dakwah Kampus) STAIL untuk mengusutnya lebih dalam. Hal tersebut diwujudkan dalam acara Forum Diskusi Mahasiswa (FORDIMA) yang diselenggarakan pada jum'at, 12 maret 2010 di ruang C2. Tema yang diangkat adalah 'mengusut upaya kriminalisasi pelaku nikah siri' dengan menghadirkan pembicara Luqman Hakim, mahasiswa STAIL semester VI

Senin, Maret 29, 2010

Nikah (mau) Dipidana, Zina “Dihalalkan”

oleh Luqman Hakim*

Menikah adalah solusi Islam dalam menjaga kehormatan dan martabat manusia. Dengan menikah, seorang muslim ingin menjadi orang yang terhormat dan bermartabat serta memiliki rasa aman dalam menyalurkan hasrat biologisnya. Namun, adanya Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) bidang perkawinan yang masuk dalam dalam Program legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 di DPR membuat sebagian (besar) kita resah. Pasalnya, dalam RUU tersebut terkandung klausul pemidanaan (kriminalisasi) bagi orang-orang yang menikah (baca:nikah siri). Mereka bisa diancam hukuman penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Pertanyaannya adalah, apakah pantas pelaku nikah (baca:nikah siri) dipidana, sementara pelaku zina “dibiarkan”?

Pro Kontra

Tentu saja, adanya RUU tersebut menimbulkan pro kontra di masyarakat. Ada yang setuju jika RUU tersebut di’goal’kan, ada juga yang tidak. Mereka yang pro (setuju), misalnya, adalah ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Alasannya, ia meyakini pernikahan bawah tangan (nikah siri) merugikan pihak perempuan (jambi-independent.co.id, 15/2/10).
Sementara itu, KH. Ali Mustafa Yaqub, pakar Ilmu Hadis dan Imam besar Masjid Istiqlal, menyangkal pernyataan yang menyebut bahwa nikah siri merugikan perempuan. “ Siapa bilang merugikan perempuan? Banyak juga yang minta ‘nikah siri’ itu perempuan. Artinya tetap menguntungkan kedua belah pihak”, katanya (www.hidayatullah.com)
Ketua PWNU Jawa Timur KH. Mutawakkil Allah juga mempertanyakan, dasar apa yang digunakan dalam pelarangan nikah siri? Menurut sepengetahuan dia, selama ini di sejumlah kasus di daerah, perempuan tidak ada yang merasa teraniaya. Justru merasa tertolong dan bahagia. (www.hidayatullah.com)

Tinjauan Syariat

Lalu, kalau ditinjau secara syariat, apa hukum nikah siri? Sah atau tidak sah? Halal ataukah haram?
Dalam kitab Minhajul Muslim karangan Abubakar Jabir Al-Jazair halaman 338-340, dijelaskan bahwa untuk menjadi sah, pernikahan haruslah memenuhi rukun-rukun nikah yang berjumlah 4 (empat). Rukun pertama adalah “wali” dari pihak perempuan. Sebagaimana disabdakan oleh nabi: “tidak ada nikah kecuali adanya wali”(HR.Abu Daud). Lalu Rukun Kedua adalah saksi-saksi (minimal dua orang). Dalam hal ini, Rasulullah bersabda: “tidak ada nikah kecuali adanya wali dan 2 orang saksi yang adil”(HR.Baihaqi). Selanjutnya Rukun Ketiga adalah ijab qobul (akad nikah), dan rukun keempat adalah membayar mahar. Mengenai mahar, Allah sendiri yang menjelaskannya dalam al-Quran surat annisa’ ayat 4: ”dan berikanlah maskawin (mahar) kepada permpuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.
Di samping itu, calon istri haruslah seseorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena kematian atau perceraian, tidak hamil, dan tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi seperti keponakan atau bibi.
Dari penjelasan di atas, hukum nikah siri secara syariat Islam menjadi jelas, sejelas matahari di siang bolong, yaitu sah dan halal. Karena dalam nikah siri, keempat rukun tersebut terpenuhi. Adapun tentang tidak dicatatnya pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau kantor sipil lainnya bukanlah syarat sahnya pernikahan.
Pada era keemasan Islam pun, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Tidak Adil

 
Secara hukum Islam, hukum nikah siri sudah jelas, yaitu sah. Lalu kenapa ia dipermasalahkan? Kalau alasannya karena merugikan pihak perempuan, seperti sulitnya pihak perempuan mendapatkan warisan apabila sang suami meninggal, kenapa solusinya harus dipidana? Bukankah ada solusi lainnya, semisal, administrasinya dipermudah? Karena selama ini, kasus nikah siri terjadi karena sulitnya proses pencatatan di KUA, terutama masalah keuangan. Atau kalau alasannya dalam nikah siri pihak perempuan akan dianiaya, bukankah potensi penganiayaan tersebut tidak hanya terjadi dalam nikah siri saja? Jadi yang bermasalah bukan nikah siri-nya, melainkan orangnya.
Kalau kita cermati, sikap pemerintah tidaklah proporsional. Nikah siri yang secara syariat hukumnya adalah sah ternyata mau dipidana. Sementara zina, baik zina “siri” (sembunyi-sembunyi) maupun zina yang dilakukan secara terangan-tengan, “dihalalkan”. Padahal semua orang sudah tahu, bahwa hukum zina adalah haram dan dibenci Allah. Selain itu, zina berpotensi menimbulkan banyak permasalahan yang tak kunjung usai. Mulai dari penyakit kelamin mematikan (AIDS, sepilis, dll) sampai kacaunya tatanan rumah tangga.
Coba kita perbandingkan, mana yang perlu ditangani secara serius dan berdampak merusak, nikah siri atau zina? Lebih jauh lagi, mana yang Allah halalkan, dan mana yang Dia haramkan?
Di sinilah letak ketidakdilan pemerintah kita. Pemerintah lebih mengedapankan hukum positif yang dibuat oleh manusia daripada hukum Allah. Perbuatan yang jelas-jelas halal mau dipidana, sedangkan yang jelas-jelas haram malah dibiarkan. Padahal, sebagai orang Islam, kita meyakini bahwa Allah adalah Zat yang maha Adil dan Maha Tahu. Dia lebih tahu permasalahan kita daripada kita sendiri.
Oleh karena itu, perlu kiranya pemerintah meninjau dan mempertimbangkan kembali RUU HMPA tersebut. Jangan sampai pemerintah hanya mengedepankan pendapat sendiri dan mengenyampingkan ketetapan Allah. Coba renungi pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Ridwan dalam menyikapi RUU HMPA berikut ini, "Jangan sampai hukum yang dibuat manusia menghakimi hukum Allah." Na’udzubillahi min dzalik . Wallahu a’lam bisshowab.(artikelmahasiswa/ldk-stail.blogspot.com)

*Ketua LDK STAIL



Minggu, Februari 14, 2010

MENELISIK BUDAYA VALENTINE
Oleh Nurhadi

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Surah Al-An’am : 116)
Seiring masuknya pengaruh budaya Barat ke dunia Islam tanpa filter yang jelas, perayaan hari valentine pun ikut mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja muslim sekali pun. Bertukar bingkisan Valentine, semarak warna pink, ucapan rasa kasih sayang, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasana valentine setiap tahunnya. Perayaan inipun semakin meriah dengan dukungan dari mall-mall atau tempat hiburan yang mempormosikan acara penyambutan Valetine itu.
Sejarah Valetine
Dalam berbagai literatur, ada banyak versi tentang asal dari perayaan Hari Valentine ini. Tidak ada kesepakatan yang final mengenai sejarah perayaan Valentine. Namun, menurut salah satu sumber yang dipercaya, Valentine berawal dari sebuah perayaan Lupercalia yang tak lain adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari).

Jumat, Januari 15, 2010

TIPOLOGI MANUSIA DALAM PERSEPEKTIF AL-QURAN

Oleh : Robin Sah
(Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIL) Surabaya

Manusia diciptakan di muka bumi ini bersuku-suku. Dan setiap suku dari sekian banyak suku itu, memiliki ciri khas masing-masing. Eropa misalnya, memiliki ciri khusus berupa kulitnya yang putih (bule). Sedangkan Afrika, identik dengan kulitnya yang hitam legam. Begitu pula manusia-manusia yang lain, yang berdomisili di luar kedua benua tersebut.

Seberapapun kontras perbedaan (fisik) yang dimiliki oleh manusia, namun Al-Quran telah mengklasifikasikan mereka menjadi tiga golongan (tipe). Pertama, adalah orang-orang yang beriman. Mereka ini adalah golongan manusia yang meyakini tentang keberadaan Allah dengan seyakin-yakinnya. Tidak cukup itu saja, untuk membuktikan keimanan yang bersemayam di dalam hati tersebut, merekapun mengikrarkannya dengan lisan, kemudian mewujudkannya dengan paraktek-praktek ibadah yang mereka lakukan setiap harinya.

“Bersyukur=Untung” atau “Kufur=Buntung”

Oleh: Tatang Hidayat
 
“Maka Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”, Allah mengulang-ulang ayat ini hingga 31 kali dalam Al-Qur’an surat Ar-Rahman. Kalau kita renungkan, ini memang benar-benar  sebuah peringatan yang  penting bagi kita sebagai hamba-Nya, mengingat mudah dan banyak sekali manusia yang jatuh ke jurang kekufuran.

Mari kita renungkan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Matahari dan udara, misalnya, yang diberikan secara gratis, bahkan semau dan sepuasnya kita nikmati, tiba-tiba kedua nikmat ini diprivatisasi dan dikomersialkan.. Menghirup udara atau menggunakan “jasa” matahari dipungut bayaran semacam pajak ataupun jenis pungutan lainnya, kemungkinannya para nelayan akan mogok menjemur ikan, atau para petani tembakau akan bangkrut karena tembakaunya tidak kering.

Cbox

Pengikut