• Ust. Faishal Haq memberikan pembukaan pada Musyawarah Akbar LDK....
  • Lembaga Dakwah Kampus LDK STAIL Surabaya menyelengarakan musyawarah....
  • Penyampaian materi oleh Ust. Alwi di Aula Rahman Rahmat Pesantren Hidayatullah Surabaya
  • Mahasiswa STAIL Hidayatullah Surabaya hadir dalam....
  • Pada hari Rabu 12/12/12, LDK STAIL mengadakan orientasi ke-LDK-an yang bertempat di kantor Pusat Dakwah.
  • Dalam rangka membangun kembali semangat kepemudaaan Hidayatullah...
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL

Senin, Maret 29, 2010

Nikah (mau) Dipidana, Zina “Dihalalkan”

oleh Luqman Hakim*

Menikah adalah solusi Islam dalam menjaga kehormatan dan martabat manusia. Dengan menikah, seorang muslim ingin menjadi orang yang terhormat dan bermartabat serta memiliki rasa aman dalam menyalurkan hasrat biologisnya. Namun, adanya Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) bidang perkawinan yang masuk dalam dalam Program legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 di DPR membuat sebagian (besar) kita resah. Pasalnya, dalam RUU tersebut terkandung klausul pemidanaan (kriminalisasi) bagi orang-orang yang menikah (baca:nikah siri). Mereka bisa diancam hukuman penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Pertanyaannya adalah, apakah pantas pelaku nikah (baca:nikah siri) dipidana, sementara pelaku zina “dibiarkan”?

Pro Kontra

Tentu saja, adanya RUU tersebut menimbulkan pro kontra di masyarakat. Ada yang setuju jika RUU tersebut di’goal’kan, ada juga yang tidak. Mereka yang pro (setuju), misalnya, adalah ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Alasannya, ia meyakini pernikahan bawah tangan (nikah siri) merugikan pihak perempuan (jambi-independent.co.id, 15/2/10).
Sementara itu, KH. Ali Mustafa Yaqub, pakar Ilmu Hadis dan Imam besar Masjid Istiqlal, menyangkal pernyataan yang menyebut bahwa nikah siri merugikan perempuan. “ Siapa bilang merugikan perempuan? Banyak juga yang minta ‘nikah siri’ itu perempuan. Artinya tetap menguntungkan kedua belah pihak”, katanya (www.hidayatullah.com)
Ketua PWNU Jawa Timur KH. Mutawakkil Allah juga mempertanyakan, dasar apa yang digunakan dalam pelarangan nikah siri? Menurut sepengetahuan dia, selama ini di sejumlah kasus di daerah, perempuan tidak ada yang merasa teraniaya. Justru merasa tertolong dan bahagia. (www.hidayatullah.com)

Tinjauan Syariat

Lalu, kalau ditinjau secara syariat, apa hukum nikah siri? Sah atau tidak sah? Halal ataukah haram?
Dalam kitab Minhajul Muslim karangan Abubakar Jabir Al-Jazair halaman 338-340, dijelaskan bahwa untuk menjadi sah, pernikahan haruslah memenuhi rukun-rukun nikah yang berjumlah 4 (empat). Rukun pertama adalah “wali” dari pihak perempuan. Sebagaimana disabdakan oleh nabi: “tidak ada nikah kecuali adanya wali”(HR.Abu Daud). Lalu Rukun Kedua adalah saksi-saksi (minimal dua orang). Dalam hal ini, Rasulullah bersabda: “tidak ada nikah kecuali adanya wali dan 2 orang saksi yang adil”(HR.Baihaqi). Selanjutnya Rukun Ketiga adalah ijab qobul (akad nikah), dan rukun keempat adalah membayar mahar. Mengenai mahar, Allah sendiri yang menjelaskannya dalam al-Quran surat annisa’ ayat 4: ”dan berikanlah maskawin (mahar) kepada permpuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.
Di samping itu, calon istri haruslah seseorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena kematian atau perceraian, tidak hamil, dan tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi seperti keponakan atau bibi.
Dari penjelasan di atas, hukum nikah siri secara syariat Islam menjadi jelas, sejelas matahari di siang bolong, yaitu sah dan halal. Karena dalam nikah siri, keempat rukun tersebut terpenuhi. Adapun tentang tidak dicatatnya pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau kantor sipil lainnya bukanlah syarat sahnya pernikahan.
Pada era keemasan Islam pun, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Tidak Adil

 
Secara hukum Islam, hukum nikah siri sudah jelas, yaitu sah. Lalu kenapa ia dipermasalahkan? Kalau alasannya karena merugikan pihak perempuan, seperti sulitnya pihak perempuan mendapatkan warisan apabila sang suami meninggal, kenapa solusinya harus dipidana? Bukankah ada solusi lainnya, semisal, administrasinya dipermudah? Karena selama ini, kasus nikah siri terjadi karena sulitnya proses pencatatan di KUA, terutama masalah keuangan. Atau kalau alasannya dalam nikah siri pihak perempuan akan dianiaya, bukankah potensi penganiayaan tersebut tidak hanya terjadi dalam nikah siri saja? Jadi yang bermasalah bukan nikah siri-nya, melainkan orangnya.
Kalau kita cermati, sikap pemerintah tidaklah proporsional. Nikah siri yang secara syariat hukumnya adalah sah ternyata mau dipidana. Sementara zina, baik zina “siri” (sembunyi-sembunyi) maupun zina yang dilakukan secara terangan-tengan, “dihalalkan”. Padahal semua orang sudah tahu, bahwa hukum zina adalah haram dan dibenci Allah. Selain itu, zina berpotensi menimbulkan banyak permasalahan yang tak kunjung usai. Mulai dari penyakit kelamin mematikan (AIDS, sepilis, dll) sampai kacaunya tatanan rumah tangga.
Coba kita perbandingkan, mana yang perlu ditangani secara serius dan berdampak merusak, nikah siri atau zina? Lebih jauh lagi, mana yang Allah halalkan, dan mana yang Dia haramkan?
Di sinilah letak ketidakdilan pemerintah kita. Pemerintah lebih mengedapankan hukum positif yang dibuat oleh manusia daripada hukum Allah. Perbuatan yang jelas-jelas halal mau dipidana, sedangkan yang jelas-jelas haram malah dibiarkan. Padahal, sebagai orang Islam, kita meyakini bahwa Allah adalah Zat yang maha Adil dan Maha Tahu. Dia lebih tahu permasalahan kita daripada kita sendiri.
Oleh karena itu, perlu kiranya pemerintah meninjau dan mempertimbangkan kembali RUU HMPA tersebut. Jangan sampai pemerintah hanya mengedepankan pendapat sendiri dan mengenyampingkan ketetapan Allah. Coba renungi pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Cholil Ridwan dalam menyikapi RUU HMPA berikut ini, "Jangan sampai hukum yang dibuat manusia menghakimi hukum Allah." Na’udzubillahi min dzalik . Wallahu a’lam bisshowab.(artikelmahasiswa/ldk-stail.blogspot.com)

*Ketua LDK STAIL



Cbox

Pengikut