• Ust. Faishal Haq memberikan pembukaan pada Musyawarah Akbar LDK....
  • Lembaga Dakwah Kampus LDK STAIL Surabaya menyelengarakan musyawarah....
  • Penyampaian materi oleh Ust. Alwi di Aula Rahman Rahmat Pesantren Hidayatullah Surabaya
  • Mahasiswa STAIL Hidayatullah Surabaya hadir dalam....
  • Pada hari Rabu 12/12/12, LDK STAIL mengadakan orientasi ke-LDK-an yang bertempat di kantor Pusat Dakwah.
  • Dalam rangka membangun kembali semangat kepemudaaan Hidayatullah...
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL

Kamis, Juni 17, 2010

Dunia itu Fatamorgana

Banyak sekali ayat ataupun hadits-hadits Rasulullah, yang menyatakan tentang perbandingan antara keutamaan dan kenikmatan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia, yang mana akan didapati betapa jauhnya kemuliaan diantara keduanya, bahkan tidak sedikit akan adanya celaan terhadap kehidupan dunia. Akan tetapi celaan tersebut tidaklah ditujukan kepada siang dan malamnya, bumi tempat dunia ini berada, lautan, sungai-sungai, hutan dan yang lainya karena semua itu adalah nikmat Allah bagi hamba-hambaNya, tetapi celaan itu ditujukan kepada polah tingkah anak Adam dan penghuninya terhadapnya. Allah Ta'ala berfirman :”ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri diantara kalian dan saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak”. (QS. Al-Hadid : 20)

Kasih Ibu Sepanjang Masa

Arham FA
Mahasiswa STAIL semester VIII

Pernahkan anda mendengar lantunan lagu Iwan Fals “Ibu”? Kalau belum, sempatkanlah walau sejenak. “Ribuan kilo jalan yang kau tempu, lewati rintangan untuk aku anakmu, ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah” Demikian Iwan Fals dengan begitu puitis namun gamblang dalam lantunan lagu, menggambarkan beratnya kehidupan yang harus dijalani seorang ibu demi mendidik dan membesarkan buah hatinya, Kita!
Mari sejanak hadirkan kembali wajah sang ibu dalam bayangan kita. Dengan seizin Allah, genangan air mata akan membanjiri kelopak matanya yang mungkin sudah sekian lama kita biarkan tak menyapanya. Kerut di pipinya mengisyaratkan kelelahan yang sangat, tenaga yang mulai habis dimakan waktu seolah tak lagi sanggup sekedar mengangkat tubuh rapuhnya. Di bola matanya, nampak jelas guratan berat kehidupan yang telah dilaluinya. Namun itu sama-sekali tak memudarkan cinta kasihnya pada kita, doa-doanya dalam sujud tak terhenti dilantunkan untuk kita, anaknya tercinta.
“Cinta anak sepanjang gala, cinta ibu sepanjang masa”. Pepatah yang biasa kita dengar untuk melukiskan betapa kita tidak akan pernah sanggup membayar berapapun dan dengan apapun cinta yang pernah diberikan oleh ibu. Bahkan Huwaish al Qorni, sahabat Rasulullah, rasa ingin membalas cinta sang ibu membuatnya rela ingin menggendong ibunya pulang pergi ibadah haji. Bahkan ada sahabat yang dilarang pergi berperang bersama Rasul, lantaran tidak ada yang mengurus ibunya yang sudah renta. “rawat dan layani ibumu.” Demikian perintah Rasul kepada pemuda itu.

Rabu, Juni 16, 2010

Berburu Karomah Cinta

Hidup tanpa cinta
Bagai taman tak berbunga
Begitulah kata para pujangga”

Demikianlah sya'ir lagu yang dibawakan oleh 'Bung' Haji Roma Irama, yang menggambarkan akan kehampaan dunia, tanpa dihiasi cinta. Cinta adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada anak manusia, bahkan -bagi orang mukmin- keberadaannya telah menjadi syarat akan keimanan mereka, “Tidak beriman di antara kalian, hingga kalian mencintai saudara kalian, sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri”, demikianlah penegasan Rasulullah, akan anjuran kepada kaum muslimin untuk menyebarluaskan cinta antarsesama, khususnya, terhadap saudara seiman.
Cinta adalah sebuah legenda yang tidak pernah habis untuk dibahas. Ia datang dan pergi tanpa harus permisi. Tiba-tiba ia hinggap di hati, dan bisa jadi, sekejab kemudian ia menghilang. Itulah cinta, penuh dengan dinamika.

Bagi mereka yang sedang dimabuk cinta, maka mereka akan mengorbankan apapun yang dimiliki, demi mewujudkan apa yang dicintai. Bukan cinta namanya, kalau seseorang tidak mau berkorban untuk menggapai apa yang dicintainya, karena memang cinta identik dengan pengorbanan.

Nah, di sini lah kita harus mewas diri terhadap cinta, sebab kalau kita lengah, harga diri kita akan tergilas olehnya. Bahkan, akhirat kita juga akan menjadi taruhannya. Apa sekejam itu cinta? Yaa, tapi tetap tergantung kepada siapa yang mengendalikannya.

Para Budak Cinta

Kalau diumpamakan, cinta itu bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi ia bisa menjadi inspirasi yang mampu melejitkan diri. Dan di sisi yang lain, ia bisa menjelma menjadi sosok yang akan menghancurkan kita sendiri. Dan hal tersebut akan terjadi, apa bila kita memposisikannya (cinta), laksana seorang raja yang harus ditaati titahnya, tanpa harus mempedulikan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Sang-Penganugerah cinta, Allah.

Sepertinya, hal inilah yang sedang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita saat ini. Betapa banyak orang, baik itu rakyat ataupun pejabat, mereka telah menjadi budak-budak cinta. Rasa malu sepertinya telah sirna, karena kerakusan mereka di dalam memenuhi hajat cinta.

Perhatikanlah, kasus perzinaan, sepertinya telah menjadi berita biasa, karena hampir setiap saat kita disuguhkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang memilukan tersebut. Atas dasar suka sama suka, dengan 'lapang dada' mereka melakukan perbuatan keji, yang dimurkai Allah tersebut.

Ini masih dalam konteks, sama-sama 'ridha'. Belum lagi kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Kasus korupsi, yang didasari oleh cinta terhadap harta yang berlebihan, telah menyebabkan negeri ini menjadi salah satu negeri terkorup di dunia. Ratusan ribu anak putus sekolah dan mati karena kelaparan, disebabkan asupan uang yang harusnya mengalir ke tangan mereka, justru tersendat di kantong-kantong para koruptor. Ironinya, 'budaya' korupsi ini tidak hanya melanda kolongan elit, namun, mereka yang masih duduk di kelas 'teri' pun tak mau ketinggalan.

Cinta yang brutal macam inilah, yang benar-benar akan menggiring pemiliknya, selangkah demi selangkah menuju gerbang kehancuran di dunia. Lebih-lebih di akhirat kelak.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur segalanya, temasuk masalah cinta dengan begitu indah, sehingga tidak menjerumuskan kepada kebinasaan. Dalam Al-Quran, terdapat sosok suri tauladan yang sangat agung, yang mampu mengelola cintanya, dan dengan hal tersebut, beliau dimuliakan oleh Allah. Dia adalah Nabiullah Yusuf 'Alaihissalam.

Dari sekian banyak kisah para Nabi yang tertera dalam Al-Quran, kisah Nabi Yusuf, merupakan kisah yang paling unik, sebab kisahnya memiliki 'page' tersendiri. Mulai dari awal surat hingga akhirnya, mengisahkan perjalanan beliau. Hal ini tentu saja karena di dalam dirinya terdapat pelajaran-pelajarn yang sangat penting, yang harus kita ikuti. Dan diantaranya adalah tauladan cinta.

Beliau merupakan sosok yang sangat berpegang teguh dalam menjaga kesucian cinta. Dan itu dipertahankan, tidak hanya dalam kondisi sukar, dalam keadaan nyaman pun prinsip ini tetap dipegang erat-erat.

Penolakan terhadap bujuk rayu Zulaikha untuk melakukan perbuatan keji (zina) adalah bukti akan kekuatan beliau di dalam menjaga prinsip, untuk tidak mencederai kemurnian cinta. Ia sadar apa yang akan dilakukannya ini merupakan perbuatan bejat yang dimurkai oleh Allah, dan yang akan membinasakannya. Pada akhirnya, sekuat apapun usaha Zulaikha untuk menundukkan hati Yusuf agar takluk di pangkuannya, gagal total dan Yusuf terhindar dari dosa besar.

Ketika beliau telah diangkat menjadi bendahara negara yang menangani mesalah pangan, tidak serta-merta posisi tersebut menjadikan beliau tamak harta (sebelumnya beliau pernah menjadi budak).

Begitu pula, tatkala ada kesempatan untuk membalas perilaku kakak-kakaknya yang telah membuangnya ke dasar sumur, tidak beliau laksanakan, karena memang cinta yang bersemayam di hati beliau benar-benar cinta yang murni, yang lebih mencintai untuk memberi maaf, dari pada harus membalas, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 92)

Inilah di antara kisah perjalanan cinta Nabi Yusuf, yang secara nyata telah mampu mengantarkan beliau ke posisi mulia. Firman Allah dalam Al-Quran, “Mereka berkata, “demi Allah, sungguh Allah telah melebihkan engkau (Yusuf) di atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang bersalah.” (Yusuf: 91)

Cinta yang Berkaromah

Dari ulasan di atas, bukan berarti Islam melarang umatnya untuk mencintai lawan jenisnya, ataupun harta yang mereka miliki. Justru sebaliknya, Al-Quran menjelaskan, bahwa memang telah dihiasi manusia itu keindahan berupa cinta terhadap istri, anak, harta dan lain-lain, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik,” demikian Firman Allah dalam Al-Quran, surat Al-Imron, 14.

Pertanyaannya, bagaimana cara mengantarkan cinta, hingga mendatangkan karomah (pengaruh baik) bagi setiap pribadi yang sedang dirasuki olehnya, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Yusuf?

Allah sebagai Penanganugerah cinta telah menjelaskan dalam Al-Quran, bahwa untuk mendapatkan hal tersebut, maka, orang itu harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarkinya. Cinta memiliki hirarki, ketika cinta telah mengikuti jejak hirarki tersebut, maka, kemuliaan yang didasari oleh cinta pun akan diperoleh.

Adapun hirarki pertama, dan itu harus menjadi landasan untuk mencintai hal-hal yang lainnya adalah cinta ke pada Allah. Allah sebagai pecipta manusia, yang telah menganugerahkan kepada mereka bumi dan apa yang ada di dalamnya, harus kita utamakan. Dan ketika hal tersebut kita lakukan, kita akan menuai akan manisnya iman. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah, ada tiga hal yang akan menjadikan seseorang mengecap manisnya iman, dan salah satu di antara tiga hal tersebut adalah, mencintai Allah di atas segalanya.

Mencintai Allah, menuntut kita untuk mencintai apa yang Ia cintai, dan membenci apa yang Ia benci, termasuk juga, dengan menjalankan apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan menjauhi apa yang dilarang.

Hanya dengan inilah, kita bisa membuktikan akan ketulusan cinta kita kepada-Nya. Allah berfirman tentang hal ini, “Katakanlah (Muhammad), “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Imran: 31).

Cinta model ini pula, yang telah mengantarkan Umar bin Khathab, menjadi sosok yang mulia, yang sebelumnya, merupakan sosok yang bengis. Al-kisah, pada suatu hari Rasulullah menanyai tentang besar cintanya terhadap beliau. Umar menjawab, “Aku mencintaimu ya Rasulullah melebihi cintaku kepada semua yang lain kecuali diriku sendiri”. Mendengar jawaban demikian, Rasulullah akhirnya menimpali, “Tidak wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”

Ketika cinta telah mengikuti hirarki demikian, maka, cinta kita terhadap yang lainnya akan lurus. Cinta terhadap istri, anak-anak, keluarga, harta benda, jabatan, akan menjadi lurus kalau ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta kepada Allah. Tidak akan ada cerita tentang penyelewengan cinta, yang dilakukan bani Adam, ketika cinta mereka telah menapaki jejak cinta yang telah ditetapkan oleh Allah. Sikap sami'na wa atha'na (kami dengar dan kami taati) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rasulnya (tanpa harus mendiskusikannya terlebih dahulu), juga menjadi cirri akan kemurnian cinta kepada Ilahi Rabbi.

Dan cinta tipe inilah yang telah diterapkan oleh Nabi Yusuf, sehingga beliau dikaruniai kemuliaan oleh Allah. Simaklah jawaban beliau, ketika dibujuk rayu oleh Zulaikha, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik….” (Yusuf: 23).

Kesimpulannya, untuk meraih karomah cinta, maka, kita harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarki yang telah dipaparkan di atas. Mudah-mudahan Allah mencatat kita termasuk golongan orang-orang yang telah menapakkan cinta sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Yusuf 'Alaihi Wassalam. Wallahu'alam bis-shawab.

Lisanpun Bisa Berbisa

Oleh Robinsyah
(Mahasiswa STAIL jurusan Dakwah)

Pepatah terkenal mengatakan, “Mulutmu adalah harimaumu.” Gara-gara perkataan keluar tanpa difikirkan, justru mengakibatkan kerugian. Kasus ini bisa kita contoh pada kerusuhan di Batam baru-baru ini. Kerusuhan yang melibatkan ribuan buruh PT Drydocks World Graha beberapa waktu lalu, ditengari akibat ucapan bernada rasis oleh seorang pekerja asing asal India.

Ketajaman lidah melebihi mata pedang. Banyak orang celaka karena tidak dapat menjaga lidahnya. Namun tak sedikit pula orang yang mulia, dihormati, disegani dan dipercaya karena lidahnya. Golongan ini karena mampu mencegah dan mengatasi bahaya yang ditimbulkan oleh lisannya.

Sudah telah banyak dicontohkan di hadapan kita semua. Betapa banyak bencana atau musibah yang ditimbulkan akibat lisan seseorang. Seseorang bisa melakukan pembunuhan hanya karena sebuah kata-kata yang dinilai menghina.

Suatu ketika Umar bin Khatab mengunjungi Abu Bakr. Ketika itu, Umar mendapatinya sedang menarik-narik lidah dengan tangannya. Mendapati peristiwa tersebut, seraya Umar bertanya, “Apa yang sedang anda lakukan? Semoga Allah mengampunimu!” Abu Bakr menjawab, “Inilah benda yang akan menjerumuskanku ke neraka.”

Dalam banyak sabdanya, Rosulullah senantiasa berpesan ke pada ummatnya supaya senantiasa menjaga lisan, agar tidak mudah “memuntahkan” kata-kata yang bisa menyelakakan diri sendiri, lebih-lebih orang lain.

Selain kemaluan, lidah merupakan salah satu biang yang sangat berpotensial menggiring kita ke pada kebinasaan, "Barang siapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua dagunya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) maka aku menjamin untuknya surga." (HR. Bukhari).

Madu dan Racun Lisan

Secara kasat mata, lidah hanyalah bagian kecil dari organ tubuh manusia. Ia lentur, tidak bertulang. Namun, dibalik ‘kelembutannya’ itu, tersimpan kedahsyatan yang mampu menghantarkan manusia ke pintu gerbang kebahagiaan, sekaligus bisa menjerumuskan si empunya ke dalam kehinaan hidup di dunia dan akhirat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Ma’ud, “Wahai lisan, ucapkanlah yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung! Diamlah dari mengucapkan yang buruk,buruk, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal!”

Laksana sebuah pedang yang terhunus, ia akan bermanfaat ketika si pemilik memanfaatkannya untuk sesuatu yang berguna. Begitu pula sebaliknya, ia justru akan berubah menjadi beban siapa saja, ketika ia tidak mampu memanfaatkannya dengan baik, atau menggunakan untuk ‘membabat’ siapa/apa saja, tak peduli dirinya sendiri. Tentu yang demikian ini, sangat membahayakan bagi keselamatan dirinya, ataupun orang lain. begitulah kira-kira analogi dari pada lisan.

Dan perlu diketahui, sejatinya lisan itu lebih berbahaya dari pedang, lebih beracun dari pada bisa, sebab, ia bisa membunuh tanpa harus melukai, bisa melumpuhkan, tanpa ada perlawanan (fisik). Kenapa?, karena lemparan peluru-peluru (baca: kata-kata) nya, langsung menghujam pada titik kelemahan manusia, hati. “Al-kalaamu yanfudzu maa laa tanfudzuhu ibaru (perkataan itu bisa menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum –hati-).

Imam Al-Ghazali telah menetapkan lisan (banyak bicara), sebagai racun pertama hati, yang menyebabkan manusia jauh dari cahaya Ilahiayah. Dalam kitab nya yang ternama, “Ihya’ Ulummidin” beliau banyak menerangkan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh lidah.

Saat ini, sepertinya kebanyakan manusia telah terseret ke lembah kehinaan lisan. Betapa mudah mereka mengumbar kata-kata, tanpa mempertimbangkan efek sampingnya, apakah itu membawa mashlahah (kebaikan), atau, justru sebaliknya, mafsadat (keburukan).

Lisan seseorang adalah merupakan cerminan dari baik dan buruk dan cerminan kualitas iman seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus lisannya. Dan seseorang tidak akan masuk surga apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan lisannya." (HR. Imam Ahmad dan selainnya)

Macam-Macam ‘Bisa’ Lisan

Pada hakekatnya, banyak sekali jenis penyakit yang bersumber dari lisan ini. Sebagian, bisa menghantarkan mereka keluar dari Islam. Sebagian yang lain, melahirkan dosa yang besar, akan tetapi tidak menjatuhkan mereka ke pada kekafiran. Dan di antara penyakit itu adalah:

1. Ucapan Kufur
Ucapan kufur, merupakan ucapan paling buruk yang akan mengeluarkan kaum muslimin dari keimanan mereka. Barang siapa yang mengucapkannya dengan penuh kesadaran, missal, “Saya mengakui bahwa ada Tuhan selain Allah”, maka, secara langsung ia difonis sebagai orang murtad alias kufur (keluar dari Islam).

2. Ucapan Yang Mendekati Kekufuran
Saat ini, sepertinya tidak sedikit orang yang terbawa oleh arus kebebasan yang kebablasan. Berlindung dengan dasar Hak Asasi Manusia (HAM), dengan berani mereka mengeluarkan pernyataan yang sangat bertentangan dengan syari’at. Misalnya, seorang muslim berani mengharamkan poligami dan menghalalkan nikah sejenis. Ketika mereka ditegur, mereka justu mengancam dengan dalih melanggar HAM. Pada intinya, hak-hak Allah yang tertera di dalam Al-Quran, ingin mereka letakkan dibawah HAM mereka yang berdasarkan hawa nafsu.

3. Berbohong
Berbohong merupakan istilah yang tidak asing di telinga. Kita sering mendengarnya. Tapi, dalam kontek kehidupan, kita sering menyampingkannya. Padahal efek dari prilaku ini sangat luar biasa, minimal, ia akan menyebabkan si pelaku tidak tenang, terus bimbang dalam menjalani kehidupannya. Sebagaimana sabda Rosul, “Sesungguhnya kebenaran itu (membawa) ketentramandan kebohongan itu (mengakibatkan) kebimbangan.” (HR. Tirmidzi).

Dan bohong yang tingkatannya paling tinggi adalah, berbohong kepada Allah, Rosulnya, dan bersaksi dengan kesaksian yang palsu (terkecuali kalau dihadapan musuh). Dan contoh bahwa seseorang telah berbohong kepada Allah dan Rosul-Nya, ia memberikan penjelasan (fatwa), bahwa Allah dan Rosul-Nya telah berkata demikian, padahal itu bohong. Firman Allah, “Maka tidak ada kedzoliman yang lebih berat selain orang-orang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya.” (Al-‘Araf: 37).

4. Ghibah
Ghibah, menggunjing atau menggosip. Sebagaimana didefinisikan oleh Rosulullah, bahwa ghibah adalah jika , “Engkau menyebut/menceritakan saudaramu dengan ucapan yang (jika dia di depanmu) dia akan membencimu….” (HR. Imam Muslim).

Ditinjau dari segi hukum, ghibah adalah haram. Allah mengumpamakan orang yang doyan me-ghibah adalah mereka yang senamg memakan daging saudaranya yang sudah mati. Firman Allah, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya……” (Al-Hujurat: 12)

Di tengah arus informasi saat ini, ghibah telah menjadi sesuatu yang dikomersialkan, dan disenangi oleh sebagian orang. Acara infortaiment, adalah jenis ghibah di era modern. Cukuplah firman Allah di atas sebagai teguran bagi kita untuk menjauhi prilaku ghibah ini, apapun wujud perubahannya.

5. Fitnah
Rasa dengki dan iri hati terhadap kesuksesan/kebahagian seseorang, seringkali menjadi pemicu untuk memfitnah orang tersebut. Mencari-cari kelemahan, kemudian menyebarkannya ke pada khalayak umum, adalah wujud dari fitnah itu sendiri. Hal ini sangat dibenci oleh Allah dan Rosul-Nya, bahkan ia (fitnah) dikategorikan lebih kejam dari pada pembunuhan.

Banyak sekali ancaman Allah melalui lisan Rosul-Nya mengenai balasan bagi mereka yang suka memfitnah, salah satunya adalah hadits berikut ini, “Orang-orang yang suka mengumpat, mencela, mengadu domba, dan mencari-cari aib orang lain bakal digiring di masyar nanti dengan wajah berupa anjing.” (HR. Abu Syaik dan Ali bin Harits).

6. Sikhriyyah
Manusia diciptakan dengan diliputi oleh beberapa kelebihan dan kekurangan. Satu sama lain, pasti mempunyai dua hal ini, kelebihan dan kekurangan. dan untuk melengkapi antar mereka, maka manusia harus saling membantu, bukan dengan saling mencemooh antar satu sama lain. “Laa tahtakir man duunaka falikulli syain maziayatun.” (janganlah meremehkan siapa saja yang lebih rendah dari padamu, karena setiap sesuatu itu memiliki kelebihan). Demikianlah pribahasa Arab menggambarkan, betapa manusia itu jauh dari kesempurnaan.

Sayangnya, kadang karena dorongan hawa nafsu, secara tidak sadar/sadar kita telah meremehkan seseorang, baik itu dengan ucapan, tindakan ataupun dengan isyarat. Secara logika, sebenarnya kita pun menolak ketika ada seseorang yang meremehkan kita, sebab itu, kita harus menghindari perbuatan tercela ini. dan perlu diperhatikan, bahwa, belum tentu orang yang kita perolok-olokkan itu, lebih buruk dari pada kita yang mengolok-ngolokkan, bahkan, bukan suatu kemustahilan, ia lebih baik dari pada kita. Simaklah firman Allah berikut ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolo-ngolokkan kaum yang lain. (karena) boleh jadi mereka (diperolokkan) itu lebih baik dari pada mereka (yang memperolokkan).” (Al-Hjurat: 11)

7. Sibabah
Sifat ashabiah (kekelompokkan/kesukuan), kini telah menjakiti sebagian kaum muslimin. Tak jarang karena sifat ini telah mendarah daging, mereka mencela kelompok yang lain, yang tidak sejalan dengan perilaku mereka. Padahal, perselisihan di antara mereka, -hanyalah- perselisihan furu’iah, bukan yang ushul. Jangankan kita, yang masanya jaraknya jauh dengan masa Rosulullah, para sahabatpun, yang hidup di zaman Nabi, juga pernah berselisih pendapat. Masalahnya, perbedaan pendapat di jaman sahabat, tidak menjadikan merenggangkan tali persaudaraan mereka.

Lihat lah fenomena saat ini, karena kelompok lain tidak mengamalkan bacaan ini dan bacaan itu, amalan ini dan amalan itu, dengan mudah mereka menyalahkan antar satu sama lain, bahkan tak jarang juga mereka saling menyesatkan. Pebuatan macam inilah yang kemudian disebut dengan sibabah.

Hal ini sangat dilarang, sebagaimana sabda Rosul, “Mencela orang muslim itu menyebabkan kefasikan dan membunuhnya menyebabkan kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sikap mencela, bukan hanya dilarang untuk sesama muslim, terhadap waktu, angin, ayam jantan yang berkokok, juga berlaku demikian. Sabda Nabi, “Janganlah kamu mencela angin karena angin itu sebagian dari ruh (kekuasaan) Allah.” (Al-Hadits).

8. Memberi Dukungan Yang Buruk
Bukan suatu yang rahasia lagi, kalau ada sebagian orang, atas nama menjaga kekompakan, mereka sepakat untuk melakukan suatu makar, sayangnya, makar tersebut merupakan makar kemaksiatan. Seperti mencuri, menyuap, dan lain sebagainya. Saling mendukung dalam kejelekan/kemaksiatan semacam ini haram hukumnya, sekalipun ia tidak terlibat dalam tindakan makar tersebut. Allah berfirman, “Barang siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian dari dosanya.” (An-Nisa’: 85)

9. Gemar Mengucapkan Sumpah
Seringkali seseorang karena kepepet, dan demi meyakinkan lawannya, dengan mudah ia bersumpah atas nama Allah. prilaku umbar sumpah, merupakan prilaku buruk, yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang-orang mukmin. Firman Allah, “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina.” (Al-Qalam: 10)

10. Li’an
Li’an adalah memvonis orang dengan ucapan laknat. Sebagai seorang mukmin, kita dilarang keras untuk melaknat sesama saudara seiman. Ketika kita melakukannya, berarti, kita telah membunuh saudara kita sendiri. Rosulullah bersabda, “Mengucapkan laknat kepada orang mukmin (sama halnya) dengan membunuhnya.” (HR. Bukhari Musliam dan Duhhak)

Demikianlah di antara penyakit lisan, yang bisa membahayakan nasib kita (si empunya lisan) dan orang lain, di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak. Dan dalam rangka mencegah itu semua, perlu kiranya kita mengerjakan beberapa hal berikut ini:

1. Senantiasa meminta pertolongan kepada Allah atas bahaya lisan kita.
2. Basahilah ia dengan dzikir.
3. Berfikir terlebih dahulu (akan manfaat dan mudharat) sebelum bertutur.
4. Ketika kita menyadari akan kekeliruan ucapan kita, beristighfarlah, dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
5. Jauhkanlah diri dari kebiasaan mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat. "Di antara ciri kebaikan Islam seseorang adalah ketika bisa meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat." (H.R. Tirmizi dan Ibnu Majah).
6. Janganlah berbicara berlebihan atau melebih-lebihkan sesuatu.

Demikianlah di antara tips-tips yang akan membebaskan kita dari racun lisan. Mudah-mudahan, Allah menggolongkan kita termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga dan menghiasi lisan dengan dzikir-dzikir cinta, cinta kepada Allah.

Akhirul kalam, Keselamatan seorang manusia juga terletak dalam menjaga lidahnya. Allah menyeru umat-Nya agar menggunakan lidah untuk berzikir dan menyebut nama-Nya.

Nabi bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata benar atau diam." (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain ditegaskan, "Simpanlah lidahmu, kecuali untuk perkataan yang baik. Dengan bersikap seperti itu, engkau dapat mengalahkan setan." (H.R. Ibnu Hibban)

Pesan Nabi menegaskan agar kita harus berbicara yang baik dan benar atau lebih baik diam jika tak mampu. Wallahu ‘alam bis-shawab

Menciptakan Mujadalah Berakhir Maslahah

Oleh Robinsyah*

Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia. Mereka dianugerahi akal agar digunakan untuk berfikir tentang segala hal, masalah ketuhanan, kehidupan, lingkungan, dan lain sebagainya.

“Afala tatadzakkarun, afala ta’qilu,” adalah di antara redaksi firman Allah, yang menganjurkan manusia untuk memfungsikan akalnya untuk berfikir. Karena demikian, tidak sedikit dari manusia harus berselisih antarsesama, karena perbedaan cara pandang dalam menela’ah suatu masalah.

Kullu ra’sin ra’yun (setiap kepala –manusia-- itu mempunya pendapat), demikianlah bunyi pribahasa bahasa Arab yang menggambarkan betapa manusia itu memiliki keberekaragaman pendapat dalam mengkaji sesuatu.

Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak bisa mengelak dari hal ini; di perkuliahan seorang dosen akan berdebat dengan mahasiswanya, presiden dengan bawahannya (lawan politik ataupun masyarakat biasa), penjual dengan pembeli, dan lain sebagainya.

Karena dorongan hawa nafsu (baca: ingin menang sendiri), maka, tidak sedikit kasus silang pendapat ini, justru menjadi awal perpecahan dan pertikaian. Debat tidak lagi bertujuan untuk memecahkan suatu masalah, tapi justru dijadikan ajang saling menyalahkan, menghina, mencemooh, dan lain-lain, yang ujungnya –terkadang-- berakhir dengan anarkis.

Sebagi gambaran, ‘drama’ kekacauan sidang paripurna kasus Century, yang ditayangkan secara live oleh beberapa TV swasta beberapa waktu lalu, adalah salah satu potret betapa perbedaan pendapat, bisa berakhir dengan mempertaruhkan martabat, bahkan nyawa sekalipun.

Itu baru sekelumit contoh debat yang berakhir dengan bad ending. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain, yang pastinya tidak kalah seru.

Sejatinya perselisihan pendapat telah dimulai semenjak dahulu, sebelum manusia itu diciptakan. Ketika Allah menerangkan kepada para malaikat, bahwa Ia akan menyiptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, mereka (para malaikat) ‘mendebat’-Nya, seraya mengajukan argumen mereka, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (bumi), sedangkan kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? …” (Al-Baqarah 30).

Protes yang lebih keras keluar dari golongan iblis. Mereka tidak hanya menyatakan ketidaksenangan mereka terhadap hadirnya Adam, juga memperkeruh dengan menyombongkan diri karena alasan bahwa bahan penciptaan mereka (api) lebih mulia daripada Adam yang terbuat dari tanah.

Namun, setelah menyaksikan kebesaran kekuasaan Allah yang diperlihatkan melalui perantara Adam, maka malaikat pun tunduk terhadap kebenaran Allah. Adapun Iblis karena sifat iri, dengki yang menyelimuti, tetap membangkang, hingga dilaknat dan terusir dari surga.

Perselisihan pendapat, juga terjadi antara bapak manusia (Adam) dengan anaknya Qobil, ketika turun perintah, agar ia menikah dengan kembaran dari adiknya Habil, sedangkan Habil dipasangkan dengan kembarannya Qobil sendiri. Ia (Qobil) menolak perjodohan tersebut, dengan dalih kalau ia lebih pantas bersanding dengan kembarannya sendiri.

Meskipun demikian, bukan berarti setiap perbedaan itu harus berakhir dengan tragis. Allah dan Rasulullah-Nya telah mengajarkan kita, untuk berdialog dengan baik, ketika terjadi perselisihan pendapat, sehingga, dampak dari adu argumen tersebut, tidak harus berakhir dengan adu jotos.

Kemenangan yang mengagumkan oleh kaum muslimin atas orang-orang Quraisy (Fathul Mekah), tidak terlepas dari hasil dialog yang dilakukan oleh Nabi dengan utusan orang-orang Quraisy, Suhail bin Amru, dalam perjanjian perdamaian. Nabi tidak terprovokasi dengan syarat yang diajukan oleh Suhail, seperti, Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin Abdillah, harus mengembalikan sanak keluarga orang-orang Quraisy yang kabur tanpa seizin ahlinya, untuk memeluk Islam, dan lain-lain. Dan benar saja, justru dengan cara ini, kaum muslimin bisa meraih kemenangan tanpa harus bersusah-payah menghunuskan pedang.

Singkatnya, perselisihan pendapat itu bisa dibilang sudah menjadi sunnatullah. Tugas kita, bagaimana meramunya agar tidak melebar menjadi perpecahan.

Jidal (debat)

Apa jadinya bila ada seseorang yang terkenal kealimannya, kejujurannya, amanahnya, tapi, pada suatu hari, masyarakat mengetahui bahwa orang tersebut talah melakukan penipuan? Sudah barang tentu, citranya akan rusak. Dan untuk mengembalikannya ke pada posisi semula, bukanlah perkara yang mudah, atau yang lebih ekstrim lagi, sangat tidak mungkin.

Hal itu juga berlaku dalam bermujadalah. Esensinya, tujuan yang ingin dicapai untuk mencari kebaikan. Namun, ketika proses dan akhirnya justru melahirkan kerusuhan, alih-alih akan mendatangkan manfaat, justru ini akan memperparah permasalahan. Dampaknya, tentu citra pribadi, lembaga, agama, dan negara akan tercoreng.

Kasus kericuhan di gedung DPR RI (kasus Century), secara tidak langsung telah mencemari nama baik lembaga tersebut di mata masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Dan yang lebih memalukan lagi, mayoritas dari mereka adalah muslim. Dan ini, tentu juga telah menjadi tamparan bagi umat Islam.

Sebab itu, perlu kiranya para peserta menjaga kode etik dalam bermujadalah (berdebat), demi melancarkan acara tersebut, sehingga melahirkan citra positif/baik di mata masing-masing peserta, lebih-lebih publik.

Adabul Mujadalah

Dalam bahasa Arab, perdebatan dikenal dengan istilah al-mujadalah. Kata al mujadalah seakar dengan kata al-jidal yang artinya perdebatan sengit. Pendapat lain mengartikannya dengan tali yang terikat kokoh. Dari sini, kata al-jidal mengandung arti debat yang dilakukan dengan cara yang baik dan didasari dalil yang kuat dan benar.

Dan untuk mewujudkan itu semua, berikut di antara etika yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam bermujadalah (debat) :

1. Meluruskan Niat

Meluruskan niat dalam bermujadalah sangatlah penting. Ketika niat kita benar-benar murni mengharap ridla Allah untuk mencari kebenaran, maka, keputusan apapun yang dihasilkan, kita akan berlapang dada menerimanya. Yang terpenting bagi kita adalah telah menyampaikan pendapat kita yang diyakini kebenarannya. Sifat memaksakan kehendak, dan mencela pendapat orang lain, akan terhindari, karena kita faham bahwa hal tersebut dilarang oleh Allah.

Dan akan sangat berbeda ketika unsur duniawi (ingin dipuji, terkenal, uang, dan lain-lain), yang melandasi mujadalah ini. Ia akan mati-matian mempertahankan pendapatnya, sekalipun kesalahan telah tampak di pelupuk mata. Oleh sebab itu, jagalah niat.

2. Jujur Kembali kepada Rujukan

Di antara yang menyebabkan sukarnya menemukan benang merah dalam berdebat, karena kedua belah pihak di dalam menyampaikan argumen, tidak berlandaskan rujukan. Argumen, “menurut saya”, justru menjadi penyebab dari kesia-siaan debat.

Dalam memilih rujukan, kita pun harus selektif. Jangan sampai orang yang kita jadikan sandaran, ternyata orang yang salah, atau secara ilmu, kurang memumpuni. Ingat, hujjah yang sedikit namun kuat, itu lebih baik daripada hujjah yang banyak, namun lemah dan terbantahkan.

3. Berpegang Teguh pada Kebenaran

Sangat mustahil untuk menghasilkan titik temu antarpeserta mujadalah, apabila di antara mereka ada yang menutup-nutupi kebenaran. Sebagai seorang muslim, pantang baginya untuk menyembunyikan kebenaran, meskipun hal tersebut berasal dari lawan kita. Kita harus gentle mengakui kekeliruan kita. Dengan ini, mujadalah akan berakhir dengan menghasilkan satu keputusan yang jelas.

Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil. Dalilnya antara lain adalah firman Allah swt berikut :

“Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (TQs. An-Nahl : 125)

4. Memperhatikan Diri

Memang pada hakekatnya, mujadalah yang kita lakukan bertujuan untuk mengoreksi pendapat orang lain, yang menurut kita –mungkin- kurang benar. Meskipun demikian, bukan berarti kita lepas diri untuk mengevaluasi pernyataan kita sendiri. Sebab, sekiranya dari hasil mujadalah itu lawan kita akhirnya berubah menjadi lebih baik, maka itu merupakan satu keuntungan baginya.

Dan untuk meminimalisir kesalahan kita, perlu kiranya kita mengoreksi segala macam pembicaraan, sikap dan segala hal yang berkaitan dengan mujadalah kita.

5. Sportivitas

Ibarat pertandingan sepak bola, kedua pihak tentu menginginkan satu sama lain, bermain secara sportif. Dan di antara bukti yang menunjukkan kesportivitasan tim, mereka menerima kekalahannya ketika kalah, dan mengakui keunggulan lawan atas tim mereka.

Begitu pula dalam hal bermujadalah. Ketidakmampuan menerima kekalahan secara apa adanya menunjukkan bahwa peserta mujadalah telah terjebak dalam tipu daya, yang jauh dari kondisi sesungguhnya.

6. Menghormati Pihak Lain

Secara fithrah, semua orang membutuhkan kehormatan. Marahnya akan meledak-ledak, ketika kehormatannya tersebut diacak-acak oleh seseorang. Lebih menyakitkan lagi, kalau hal itu dilakukan di depan umum. Bagi para peserta mujadalah, harus saling menghormati antarmereka, terkait apakah pendapatnya diterima oleh lawan, ataupun ditolaknya.

Namun, hal ini bukan berarti menuntut peserta untuk berkompromi murahan atau kemunafikan yang rendah, atau berbohong dengan menunjukkan sifat-sifat yang kurang patut. Tidak demikian. Pernyataannya harus tetap dengan perangai tegas namun etis. Dan ini akan menumbuhkan perasaan dan akhlak karimah, yang merupakan sifat-sifat terpuji. Pada gilirannya, hal itu akan meningkatkan kemampuannya dalam memuaskan pihak lain dan kemungkinan gagasannya didengar oleh orang lain akan lebih besar.

7. Senantiasa Memilih yang Lebih Baik

Pernyataan yang baik dengan diiringi perilaku dan sikap yang terpuji, akan memberikan stigma yang berbeda kepada pihak lawan debat kita, sekalipun, mereka (lawan kita) itu menunjukkan sikap yang berbeda.

8. Perbedaan Pendapat dan Kasih Sayang

Ada orang bijak yang mengatakan, “cukuplah perbedaan (pendapat) itu berada di otak (akal), tapi tidak merasuk ke hati”. Artinya, jangan sampai silang pendapat menjadi titik awal terperciknya api permusuhan, perpecahan, dan lain sebagainya.

Kita harus senantiasa menjaga hati, jangan sampai mujadalah yang fungsinya untuk mencari kemaslahaan (kebaikan), tapi justru berakhir dengan kemafsadatan (kerusakan).

9. Tidak Emosional

“Awwalul ghadhabi junuunun wa akhiruhu nadamu,” (permulaan marah adalah gila, dan akhirannya adalah penyesalan). Demikianlah peribahasa menggambarkan sifat emosi/marah. Orang yang dikuasi oleh emosi, tidak lagi menggunakan akal pikirannya dalam bertindak. Yang ada hanyalah nafsu, nafsu, dan nafsu. Adapun akal sehat itu tenggelam, terkendalikan oleh nafsu amarah, maka hilanglah kejernihan otaknya untuk menganalisa suatu permasalahan.

Dalam bermujadalah, hal ini harus dihindari. Alih-alih akan menghasilkan keputusan yang tepat, justru nantinya kerusakan yang lebih parah akan terjadi, ketika para peserta mujadalah berdebat dengan emosi.

10. Tidak Menampakkan Kurang Perhatian

“Hormatilah orang lain, maka orang lain pun akan menghormatimu”. Prinsip ini sangat perlu dipegang erat-erat oleh para peserta mujadalah. Jika seseorang terlihat kurang memberikan penghargaan, penghormatan dan perhatian pada orang lain, hal ini sama artinya bahwa ia tidak ingin dihargai atau diperhatikan orang lain.

Ketika proses mujadalah tidak berlandaskan hal ini, besar kemungkinan kericuhan akan terjadi. Sebab itu saling perhatian merupakan salah satu hal yang perlu tercipta dalam suasana mujadalah.

Demikianlah di antara prinsip-prinsip dalam mujadalah yang harus dimiliki oleh para peserta, sehingga, mujadalah yang dilakukan tersebut, benar-benar membawa kemaslahatan.

11. Tak Mendebatkan Al-Quran

Yang terpenting adalah, tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang kafir (QS Al-Ghafir : 44).

Berdebat tentang Al-Quran untuk menetapkan bahwa Al-Quran itu bukan mukzijat atau bukan berasal dari Allah, merupakan suatu kekufuran dan dianggap keluar dari Islam.

Rasulullah saw bersabda: “Berdebat tentang Al-Quran adalah kekufuran.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

*mahasiswa STAIL dan Anggota API (Asosiasi Penulis Islam) STAIL

Cbox

Pengikut