Pembahasan tentang sabar mungkin sudah sering kita
dengar. Dan buku-buku yang membahas masalah tersebut juga relatif sering kita
jumpai. Namun mungkin permasalahan yang sering muncul bagi sebagian kita adalah
pada tahap aplikasinya. Sehingga ada ungkapan “sabar itu mudah diucapkan tapi
sulit diamalkan”.
Bedah
Buku
Sabtu,
22 Desember lalu, di Masjid Aqshal Madina Pondok Pesantren Hidayatullah
Surabaya. Terlihat segelintir pemuda sedang menyiapkan segala keperluan untuk
suatu event. Dan disana telah terpampang
sebuah banner berukuran 3x4 yang
bertuliskan “Bedah Buku: Sabar, Membawa Nikmat Mengangkat Derajat”. Owh,
ternyata sekompok anak muda tadi adalah para Aktivis Dakwah Kampus STAI Luqman
al-Hakim yang sedang mengecek persiapan perangkat-perangkat acara untuk acara
bedah buku yang akan dilaksanakan pada hari itu. Acara tersebut memang diprakasai
oleh Syabab Hidayatullah Jatim yang bekerjasama dengan Lembaga Dakwah Kampus
STAIL.
Pada
hari itu, para peserta –yang sebagian besar didominasi oleh para mahasiswa dan
kalangan muda - yang telah hadir pada kesempatan itu pun datang dengan antusiasme
tinggi. Namun dari raut wajah mereka seolah bertanya “sabar seperti apa yang
dimaksud penulis kali ini?”. Penulis yang pada acara tersebut turut didampingi
seorang pembanding Ust. Priyanto (Dosen STAIL) juga seolah mengerti apa yang
ada di benak para peserta. Sehingga materi dan apa-apa yang beliau sampaikan
cukup mewakili sebagai jawaban atas sebesit pertanyaan dari pada para peserta.
Sedikit
kutipan dari apa yang beliau sampaikan pada kesempatan kali itu, beliau
menganalogikan sabar ibarat seorang petani yang ingin melihat hasil panen
padinya dalam keadaan baik, padahal baru sekedar menanam dan mengairinya.
Tentunya tidak bisa hanya dalam waktu seminggu (baca: instan) petani tersebut
langsung bisa melihat hasilnya. Tetapi butuh proses dan usaha. Ia harus memberi
pupuk, membersihkan rumput yang tumbuh di area sawah, menjelang padi menguning
petani juga masih harus menjaganya dari serangan hama, dan tentunya itu semua
membutuhkan usaha keras dengan dilandasi kesabaran yang extra. Barulah setelah
jerih payah dan kesabaran tinggi hasil yang indahpun bisa kita nikmati.
Pencerahan
dan ilmu baru tentang sabar pun, sedikit banyak telah didapat oleh para
peserta. Termasuk oleh salah dua dari peserta yang ternyata adalah mahasiswa
STAIL. Mereka mengatakan bahwa akhirnya mereka mengerti ternyata stigma banyak
orang tentang sabar itu ada batasnya adalah suatu hal yang keliru. “setelah
mengikuti acara bedah buku dan juga membaca tuntas buku beliau, ternyata memang
sejatinya sabar itu tidak ada batasnya. Gak seperti yang dikatakan banyak orang
tentang sabar” tutur Yudi Adib, salah satu peserta yang juga mahasiswa STAIL.
Hal
senada juga disampaikan salah satu dari dua peserta tadi bahwa menurutnya buku
karya ustadz Imam Nawawi tersebut telah meluruskan presepsi sabar yang selama ini
diasumsi oleh kebanyaan orang. “dari buku ini menurut saya benar apa yang
dikatakan penulis, bahwa makna sabar bukanlah sesempit ketika hanya kita
ditimpa musibah lalu kita bersabar. Tetapi sabarnya itu maknanya luas dan
konteksnya pun berbagai macam” ujar Rahmat Kota, Mahasiswa semester tiga STAIL.
Sehingga
jelaslah bagi kita bahwa untuk mengarungi samudra kehidupan fana ini, haruslah
sabar menjadi salah satu bekal utama kita. Banyak sekali kisah-kisah
orang-orang terdahulu –termasuk para nabi Allah- yang telah membuktikan hal
ini.
Bekal
Utama
Jika
kita sandingkan dengan kehidupan kita saat ini, apalagi menjelang pergantian
tahun seperti ini. Disamping kita harus bermuhasabah dan introspeksi diri atas
apa-apa yang telah kita lakukan di tahun yang lalu. Hendaknya juga, kita saat
ini haruslah telah mempersiapkan bekal yang akan kita bawa untuk mengarungi kehidupan
di tahun yang baru nanti. Dan sejatinya, jika berkaca pada kesuksesan kisah
hidup para nabi Allah swt. Kesabaran mestinya menjadi hal pokok yang patut kita
masukan dalam daftar bekal yang harus kita persiapkan. (Yahya Ghulam Nasrullah /Sekjen LDK STAI Luqman al-Hakim)
barokallaahu fyk
BalasHapus