• Ust. Faishal Haq memberikan pembukaan pada Musyawarah Akbar LDK....
  • Lembaga Dakwah Kampus LDK STAIL Surabaya menyelengarakan musyawarah....
  • Penyampaian materi oleh Ust. Alwi di Aula Rahman Rahmat Pesantren Hidayatullah Surabaya
  • Mahasiswa STAIL Hidayatullah Surabaya hadir dalam....
  • Pada hari Rabu 12/12/12, LDK STAIL mengadakan orientasi ke-LDK-an yang bertempat di kantor Pusat Dakwah.
  • Dalam rangka membangun kembali semangat kepemudaaan Hidayatullah...
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Membahas Program Kerja tiap-tiap BO
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL
  • Berbagi pengalaman program kerja LDK ITS dan STAIL

Selasa, Mei 11, 2010

MENYOAL SEMBOYAN PENDIDIKAN

 
MENYOAL SEMBOYAN PENDIDIKAN : SATU ANALISA TENTANG MORALITAS BANGSA
( Refleksi Hari Pendidikan Nasioanal )
Oleh : Darmawansah*

Ing ngarso sung tulodo
Ing madyo mangun karso
Tut wuri handayani

Kalimat diatas bagi sebagian orang mungkin cukup familiar. Namun bagi sebagian lain mungkin satu hal yang tidak dikenal alias asing. Yaa…, kalimat tersebut adalah semboyan pendidikan negara kita, Indonesia. Layakkah kalimat di atas menjadi semboyan pendidikan kita?

Ahistoris

Ditetapkannya kalimat di atas sebagai semboyan pendidikan merupakan sebuah kecelakaan sejarah. Pilihan pemerintah yang menetapkannya sebagai semboyan pendidikanpun terlalu berlebihan dan terkesan dipaksakan. Mengapa demikian ? Karena pada dasarnya, semboyan tersebut memiliki “cacat” baik ditinjau dari aspek historis maupun ideologis.

Perlu diingat, semboyan tersebut berasal dari Ki Hajar Dewantara, pendiri sekolah Taman Siswa sebuah sekolah berhaluan kejawen di Yogyakarta. Sekolah ini sebenarnya tidak terlalu istimewa, terbukti dari cabangnya yang sedikit dan alumninya yang tidak seberapa banyak. Bandingkan dengan sekolah Islam -Muahammadiyah misalnya- yang memiliki ribuan sekolah di seluruh Nusantara, dan dari segi usia jauh lebih tua. Belum lagi jumlah alumninya yang ada di mana-mana. (Namun anehnya, Bapak Pendidikan Nasional kita bukanlah pendiri Muhammadiyah-KH.Ahmad Dahlan- melainkan Ki Hajar Dewantara- pendiri Taman Siswa).
Bagi rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sudah sepatutnya jika semboyan pendidikan itu bersumber dari  dan/atau bernafaskan Islam. Banyak kalimat yang bersumber dari Islam yang bisa dijadikan semboyan (pendidikan ), misalnya-meminjam istilah Ahmad Mansur Suryanegara- iman, ilmu dan amal; atau bisa juga  bacalah dengan nama Tuhanmu. Singkat, padat dan jelas. Berbeda dengan semboyan Ki Hajar Dewanatara yang masih butuh penafsiran.

Selain itu, semboyan Ki Hajar Dewantara ini juga terkesan eksklusif dan bernuansa etnosentris. Pasalnya, semboyan tersebut tertulis bukan dalam bahasa persatuan (bahasa Indonesia) melainkan dalam bahasa Jawa. Meski mayoritas penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa, tapi tidak semua orang bisa dan faham bahasa Jawa. Akibatnya, banyak anak bangsa- utamanya- yang non Jawa-  kesulitan memahami semboyan ini.

(Mohon maaf, penulis tidak bermaksud menimbulkan provokasi, juga bukan untuk mencari sensasi. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan tentang satu hal yang -menurut penulis- cukup esensi.)

*********


Problem filosofis

Belakangan ini sering terjadi kerusuhan dan bentrok antara rakyat dan aparat. Bahkan beberapa waktu yang lalu bentrokan ini melibatkan elemen mahasiswa yang tergabung dalam salah satu organisasi ekstra kampus -berlabel Islam- melakukan tindak anarki yang jauh dari kesan isalami. Fenomena ini menarik untuk dikaji. Apakah aparat atau mahasiswa itu orang-orang bodoh ? Tentu tidak ! Mereka adalah orang yang terdidik dan terpelajar serta dewasa. Adakah relevansinya dengan semboyan pendidikan kita?

Secara kasat mata relevansi itu tidak terlihat. Namun jika kita lebih teliti, benang merah itu bisa kita dapatkan. Bukankah semboyan itu berbunyi : 1) Ing ngarso sung tulodo (yang di depan memberikan contoh). Dalam konteks kenegaraan, ‘yang depan’ itu adalah pejabat pemerintah -baik struktural maupun fungsional- yang diamanahi sebagai pemimpin; 2) Ing madyo mangun karso (yang di tengah membangun spirit), ‘yang di tengah ini bisa kita asosiasikan kepada pelajar, mahasiswa dan pemuda; 3) Tut wuri handayani (yang di belakang mengikuti dan memberi dorongan).

Bisa jadi para mahasiswa itu terinspirasi oleh “teladan” orang- orang yang ‘didepan’ tadi. Sengaja atau tidak, inilah konsekuensi dari kalimat -dan sekaligus manifestasi-  semboyan  Tut wuri handayani. Memang, ada banyak contoh yang patut kita teladani dari orang yang ‘di depan. Namun tidak semua contoh itu baik adanya, di samping adapula contoh dari mereka yang tidak patut untuk diteladani. Nah, contoh buruk inilah yang seringkali “diteladani” oleh orang-orang yang ‘di tengah’ dan ‘di depan’.

Terlepas dari baik atau buruknya contoh yang kita dapatkan, semua itu pada akhirnya kembali kepada kita juga. Ingin mengikuti contoh yang baik atau yang buruk ? Orang yang berakal tentunya ingin mengikuti teladan yang baik. Sebaliknya, orang yang tidak berakal biasanya cenderung mengikuti contoh yang buruk.

Wallahu a’lam.


*Mahasiswa Ketua HMJ Tarbiyah  dan Anggota dari Asosiasi Penulis Islam (API) STAIL. Tulisan ini merupakan asumsi pribadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Cbox

Pengikut